Hari Tani Nasional: Krisis Beras di Zaman Jepang Bikin Rakyat Indonesia Kelaparan
Pemerintah Jepang melakukan pengawasan yang ketat terhadap harga eceran kebutuhan sehari-hari, khususnya beras. Tidak tanggung-tanggung, tugas pengawasan ini dilakukan oleh Kempetai (Polisi Militer Jepang). Mereka menyebarkan mata-mata ke mana-mana. (BACA JUGA: Sabeni, Pendekar Tanah Abang yang Disegani Kampetai Jepang)
Ada yang menyamar jadi penjual sate untuk mencari mereka yang berani menyetel radio asing. Kalau ketahuan, dibawa ke Markas Kempetai di Gambir (kini Monas). Seperti juga sekarang, banyak pedagang membeli barang-barang keperluan sehari-hari, termasuk beras, kemudian menjualnya secara spekulasi.
BACA JUGA: Mengapa Soekarno Ngotot Ingin Membangun Monas?
Mereka yang berduit jumlahnya kecil sekali memborong beras karena tahu harganya makin lama makin meningkat. Maka harga beras pun naik tanpa kendali, jauh di atas daya beli rakyat. Minyak tanah dari dua perak menjadi 22,50 perak.
Sedangkan barang-barang keperluan lain seperti handuk, kemeja, kaus kaki, sabun, benang, kain katun dan tekstil naik 2-3 kali lipat dibandingkan harga sebelum perang. Uang belanja per hari keluarga terdiri enam orang sebelumnya cukup satu perak (gulden), enam bulan setelah pendudukan Jepang 3-4 rupiah per hari tidak cukup.
BACA JUGA: Berapa Berat Emas Monas, Apakah Jika Dijual Bisa Buat Bayar Utang Negara?
Anehnya, makin ketat Kempetai melakukan pengawasan semakin sulit orang mencari barang keperluan sehari-hari. Inflasi belum pernah setinggi di masa pendudukan militer Jepang, sekalipun pada masa Bung Karno pernah mencapai 360 persen (di akhir masa pemerintahannya).