Jakarta Sebelum Jadi Kota Metropolitan adalah Sawah dan Perkebunan
Willard A Hanna, mantan direktur kantor penerangan AS (USIS) pernah bertahun-tahun tinggal di Jakarta. Dalam buku ‘Hikayat Jakarta’ yang diterbitkan 1980-an, ia menulis : ”Akhir-akhir ini Kebayoran dikalahkan oleh pembangunan kota-kota satelit baru, yang lebih mewah seperti Kemang, dan Pertamina Village di Kuningan.”
Kemang, tulis Hanna, setaraf dengan Forbes Park tempat tinggal para eksekutif dan diplomat di Manila. Kalau kita mau melangkah ke Kemang yang 50 tahun lalu harga tanahnya hanya ratusan perak kita akan mendapati belasan restoran yang menawarkan berbagai masakan asing.
BACA JUGA: Humor Gus Dur: Kiai Ngotot Naik Pesawat Emoh Pakai Sabuk Pengaman karena Sudah Pakai Sabuk Isi Doa
Di sini kita dapat menjumpai puluhan bar, diskotek, kafe, dan klub malam tempat para muda-mudi berjingkrak-jingkrak hingga teler sampai dini hari. Sementara dari masjid-masjid dan mushola terdengan azan subuh: Hayya allal sholah, hayya allal falah.
Maka dari lorong-lorong kampung Betawi yang becek itu keluarlah orang-orang kampung untuk shalat berjamaah. Pada masa Wali Kota Syamsuridjal (1951 – 1953), kota Jakarta selalu mengalami pemadaman listrik tiap tiga hari sekali.
BACA JUGA: Humor Gus Dur: Kenek Bus Sakaratul Maut, Disuruh Baca Dua Kalimat Syahadat Ternyata Bukan Muslim
Pemadaman ini terpaksa dilakukan karena Jakarta hanya mendapatkan jatah dari pemerintah pusat 240 kilowat. Sedangkan yang diperlukan 274 kilowat. Untuk mengatasi kesulitan listrik yang demikian gawat itu, dibangunlah pusat tenaga listrik (PLTA) di Ancol.
Hingga pemadaman dapat diperkecil menjadi enam hari sekali. Kala itu, di Jakarta masih terdapat 3.566 hektar tanah partikulir milik 16 perusahaan yang mereka beli pada masa penjajahan.
BACA JUGA: Soeharto Pilih Sholat Tarawih Cara NU Baru Alias 11 Rakaat karena Sedang Sakit Pinggang