Yang Musnah di Warung Buncit: Peternakan Sapi, Kebun Belimbing, Sampai Pedagang Kerak Telor
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Memasuki Jalan Buncit Raya dari arah Jalan Rasuna Said, terdapat Madrasah Saadutdarain. Madrasah yang diapit Jalan Mampang XIV dan Jalan Mampang Parapatan XIII itu juga merupakan salah satu tempat kuliah Universitas Islam Az-Zahrah, yang rektornya mantan menteri agama Tarmizi Taher dan mantan ketua yayasannya DR Sechan Shahab.
Kira-kira di tempat inilah dulu terletak Warung Buncit, yang kini diabadikan jadi nama jalan dan kampung. Dinamakan demikian, karena pemilik warung yang merupakan etnis Tionghoa perutnya buncit. Sekalipun warung dan pemiliknya sudah lenyap, nama Warung Buncit sampai kini tetap melekat.
BACA JUGA: Siapa Rasuna Said, Pahlawan Nasional Indonesia yang Jadi Doodle Google Hari Ini?
Kala itu, warung-warung milik warga Tionghoa yang tersebar di berbagai pelosok Jakarta tidak satupun memakai papan nama. Warung mereka lebih dikenal berdasarkan postur tubuh pemiliknya. Seperti warung si jangkung (pemiliknya bertubuh jangkung), atau warung si gemuk, dan ada yang dinamakan warung si kurus.
Di Kwitang, Jakarta Pusat, ada yang disebut warung andil, letaknya berdekatan dengan majelis taklim Habib Ali. Karena, warung itu didirikan secara patungan (andil). Masih di Kwitang, ada yang disebut warung asuk, karena anak-anaknya memanggil bapaknya dengan sebutan asuk yang dalam bahasa Cina berarti bapak.
BACA JUGA: Download Lagu (MP3) dari YouTube Pakai MP3 Juice: Gratis, Mudah, Cepat, dan Aman Simpan di HP
Hingga kini warung tersebut masih berdiri, menyediakan berbagai kebutuhan rumah tangga, mulai dari beras sampai bahan-bahan pokok lainnya. Cuma tidak ada lagi arang dan kayu bakar seperti tahun 1950-an dan 60-an.
Jalan Warung Buncit, terutama pagi dan sore, menjadi salah satu pusat kemacetan di Jakarta. Keadaan ini seperti langit dan bumi dibanding tahun 1960-an dan bahkan 1970-an. Waktu itu, kata Mas’ud, Jl Buncit Raya masih lengang. Jalan raya memang sudah ada, tapi belum diaspal. Bahkan pada 1950-an dan juga 1960-an, kawasan Warung Buncit sebagian masih merupakan hutan.
BACA JUGA: Sejarah Mangkuk Ayam Jago yang Jadi Doodle Google Hari Ini
Sementara para penduduknya, warga Betawi, dengan bergairah menanam pohon belimbing. Buah belimbing dari daerah ini, yang disebut belimbing semarang, terkenal sekali manis dan besar-besar. Kini sudah punah, tak satu pun yang tinggal.
Bukan hanya pemilik rumah yang berpekarangan besar yang terlibat dalam perdagangan belimbing, tapi juga sebagian besar penduduk Mampang dan Buncit. Hasil panen belimbing dibagi tiga. Sepertiga untuk pemilik rumah, sepertiga untuk para buruh yang sejak buahnya masih kecil dengan teliti membungkusnya dengan daun pisang. Dan sisanya untuk biaya operasional, seperti daun pisang dan tali untuk pengikat.
BACA JUGA: Kata Ente Ane dalam Budaya Betawi yang Viral Gara-Gara Jindan Penantang Pesulap Merah
Lalu bagaimana situasi di perapatan Republika kala itu?