Indonesia 1950-an: Kemiskinan Merajalela, Parpol Cakar-cakaran, Anak Sekolah tak Dipusingkan PPDB
Jangan dikata suasana politik kala itu. Dalam demokrasi parlementer yang oleh Bung Karno dicemooh sebagai free fight liberation, partai-partai saling cakar dan jegal-jegalan. Krisis kabinet, kata Bung Karno, seperti dagangan kue, dagangan kacang goreng. Antara 1950-1959 Indonesia mengalami 17 kali krisis kabinet yang rata-rata sekali tiap 8 bulan.
Polemik dan caci maki terjadi di surat-surat kabar yang kala itu rata-rata terbit tidak lebih dari empat halaman. Yang perlu diacungi jempol adalah kesetian orang untuk membaca koran dari partai yang mereka minati, seperti Abadi (Masyumi), Harian Rakyat (PKI), Suluh Indonesia (PNI), Duta Masyarakat (NU), Pedoman dan Keng Po (PSI), serta Bintang Timur (berhaluan kiri). Bahkan, partai-partai kecil pun kala itu juga memiliki media sendiri, seperti Berita Indonesia (Partai Murba) dan Sin Po (Baperki).
BACA JUGA: Pesawat Berisi 182 Jamaah Haji Indonesia Meledak Menabrak Bukit Nabi Adam di Srilangka
Meskipun zaman susah, bagi orang-orang berkantong tebal terdapat sejumlah tempat hiburan. Seperti, di Princen Park (kini Lokasari di Mangga Besar) terdapat tempat untuk mereka berdansa-dansi.
Demikian pula Hotel des Indes (kini pertokoan Duta Merlin) banyak didatangi korps diplomatik yang juga membuka kantor di sini. Di samping Bioskop Capitol (kini jadi pertokoan) depan Masjid Istiqlal, juga terdapat restaurant dan tempat hiburan. Di Citadel Weg (kini Jl Veteran I), terdapat tempat hiburan Black Cat yang pada masa Belanda khusus untuk mereka.
BACA JUGA: SssTiktok, Download Video TikTok tanpa Watermark, Cepat, Aman, dan Gratis
Di Restoran Airport Kemayoran, grup musik Koes Plus kala itu sering manggung. Tapi, rupanya Bung Karno kurang menyukai musik "ngak ngak ngok" ini. Soekarno bukan saja melarang, bahkan pernah memenjarakan mereka.