Indonesia 1950-an: Kemiskinan Merajalela, Parpol Cakar-cakaran, Anak Sekolah tak Dipusingkan PPDB
Bung Karno yang menyadari kesulitan yang dihadapi rakyat Indonesia, dalam pidato 17 Agustus 1950 yang berjudul Dari Sabang sampai Merauke, berkata, ”Janganlah mengira kita semua sudah berjasa dengan turunnya tiga warna (bendera Belanda). Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk, belumlah pekerjaan kita selesai.”
Jakarta pada awal 1950-an memang jauh berbeda dari satu dekade sebelumnya. Kalau kita berjalan di tengah malam, kita akan menyaksikan orang-orang yang tidur di emperan toko. Di pusat keramaian Senen, di malam hari, saat kita makan, banyak pengemis, di antaranya anak-anak, siap menunggu. Mereka akan menyerbu sisa-sisa makanan kita.
BACA JUGA: Cobain Download Lagu Gratis dari FreeMP3Downloads, Situs Alternatif MP3 Juice
Wartawan Muchtar Lubis yang menginjak kakinya pertama kali di Jakarta pada tahun 1940, menulis, ”Sungguh nyaman kota Jakarta di masa itu. Pinggir jalan penuh dengan pohon-pohon asam, johar dan berbagai pepohonan lainnya, memberi naungan dan perlindungan di waktu panas terik.”
Walaupun hidup sangat sederhana, mandi di kali (ngobak) saat saya kecil sangat nikmat. Airnya jernih dan dalam. Sungai-sungai masih lebar dan belum tercemar seperti sekarang.
BACA JUGA: Gus Baha: Syekh Siti Jenar Mengaku Tuhan, Tapi Kalah Bertarung dengan Sunan Kalijaga
Kendaraan umum kala itu didominasi trem yang menggelinding di hampir segenap penjuru Jakarta. Bayarnya juga murah, hanya 10 sen.
Untuk anak sekolah, bila berlangganan, cukup bayar setengah harga. Sayangnya, merasa negaranya sudah merdeka banyak orang yang naik trem tidak mau membayar. Kalau ditanya, jawabnya, ”numpang”. Hal itu terbawa sampai sebelum ada reformasi kereta api, di mana banyak orang yang tidak membeli karcis KRL.
BACA JUGA: Pakai MP3 Juice untuk Download dan Ubah Video YouTube Jadi MP3