Indonesia 1950-an: Kemiskinan Merajalela, Parpol Cakar-cakaran, Anak Sekolah tak Dipusingkan PPDB
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Tahun 1950-an, beberapa tahun setelah penyerahan kedaulatan (29 Desember 1949), penduduk Jakarta sudah sangat padat. Namun, tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan jumlah penduduk sekarang ini. Sebelum Perang Dunia II (Perang Asia Pasifik) tahun 1942-1945 Jakarta hanya berpenduduk kurang dari setengah juta jiwa, tapi tahun 1950-an melonjak lebih dari dua kali lipat.
Jumlah itu terus membengkak akibat situasi tidak aman di daerah-daerah, sehingga banyak penduduk yang hijrah ke Jakarta. Di Jawa Barat, misalnya, terjadi pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwirjo.
BACA JUGA: Pejabat Turki Ottoman Nikahi Putri Panglima Perang Pangeran Diponegoro
Mobil jarang yang berani melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bandung, karena tidak aman. Pemberontakan juga terjadi di berbagai daerah, antara lain menuntut didirikannya negara Islam.
Ketika Gubernur Ali Sadikin berkunjung ke Belanda, Wali Kota Amsterdam menggeleng-gelangkan kepala ketika mendengar Jakarta sudah berpenduduk di atas empat juta jiwa. Padahal sebelum Perang Dunia II, Jakarta hanya berpenduduk kurang setengah juta jiwa jauh lebih rendah dari penduduk Amsterdam yang berjumlah 800.000 jiwa. Jumlah ini hampir tidak meningkat lagi ketika Bang Ali berkunjung ke sana.
BACA JUGA: Humor Gus Dur: Minta Pindah RS karena Takut Melihat Malaikat Izrail Seliweran Habis Magrib
Kala itu pendapatan per kapita penduduk Indonesia yang 70 juta jiwa, hanya sekitar 90 dolar AS. Sekarang (pada 2007) lebih 10 kali lipat, sekitar 1.000 dolar AS.
Waktu itu, murid-murid Sekolah Rakyat (kini SD) tidak dipusingkan dengan penerimaan peserta didik baru (PPBD). Mereka lebih banyak pergi ke sekolah dengan telanjang kaki. Makan sehari hanya dua kali. Sarapan cukup dengan ubi dan singkong.
Murid-murid sekolah yang tidak berseragam, masih banyak yang memakai baju tambalan. Saya, misalnya, mendapatkan uang jajan sekolah hanya ceta’ atau setalen (25 sen).
BACA JUGA: Mengapa Persija Jakarta Berjuluk "Macan Kemayoran", Bukan "Si Pitung"?