Home > Sejarah

6 Juni 1910, Lahirnya Soekarno dan Mitos Orang Jawa di Balik Meletusnya Gunung Kelud

Melutusnya Gunung Kelud menjadi penanda sejumlah peristiwa penting di Nusantara, seperti lahirnya Prabu Hayam Wuruk, runtuhnya Kerajaan Pajang, dan kelahiran Soekarno

Soekarno lahir dari orang tua berbeda budaya. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo menikahi gadis asal Bali, Ida Ayu Nyoman Rai. Ibunda Soekarno itu adalah gadis berparas ayu dari kasta Brahmana, keturunan bangsawan, dalam garis keturunan raja terakhir Singaraja. Soekarno juga mewarisi darah Sultan Kediri dari ayahnya.

Namun, Kusno kecil besar bukan berkat asuhan ayah dan ibundanya. Ia menghabiskan masa kecilnya bersama sang kakek di Tulungagung, Jawa Timur. Hingga akhirnya Kusno harus pindah ke Mojokerto mengikuti orang tuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, Soekarno dimasukkan ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat sang ayah juga mengajar.

BACA JUGA: Kemarahan Soekarno Memuncak: Separuh Kekayaan Singapura Berasal dari Kerja Keras Rakyat Sumatra

Pada Juni 1911, Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) agar lebih mudah diterima di Hoogere Burger School (HBS) Surabaya. Saat menempuh sekolah di HBS itulah Soekarno tinggal menumpang di rumah kawan ayahnya, HOS Tjokroaminoto, yang menjadi guru sekaligus mertuanya.

Di era tersebut Soekarno bertemu banyak murid Pak Tjokro yang kelak menjadi pemimpin Syarikat Islam, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Perkenalan dan pergaulan Soekarno di rumah Pak Tjokro membuatnya aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918.

BACA JUGA: Soekarno-Hatta, Bestie Sehidup Semati, Sempat Berseberangan Tapi tidak Saling Dendam

Soekarno pun rutin mengasah kemampuan menulisnya dengan mengirimkan tulisan di harian Oetoesan Hindia yang dipimpin oleh Tjokroaminoto. Hingga pada usia 20 tahun, Soekarno menikahi putri sulung Pak Tjokro, Siti Oetari, yang saat itu masih berusia 16 tahun.

× Image