Semakin Tinggi Ilmu, Semakin Rendah Hati Pendekar Betawi
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Perkumpulan pencak silat tidak menutup diri pada masalah-masalah sosial. Sejumlah jawara atau jagoan Betawi ikut terlibat dalam berbagai pemberontakan para petani seperti di Condet, Jakarta Timur (1916), Slipi, Tanah Abang dan Cakung (1913), serta Tangerang 1924 dan Tambun (1869). Mereka berontak mencegah pasukan VOC dan tuan tanah jahat yang akan melakukan penyitaan terhadap kediaman para petani karena tidak sanggup membayar blasting (pajak) hasil bumi.
Ini membuat para pendekar silat di Betawi selalu dicurigai penjajah. Tidak seorang pun pendekar (baik jago maupun jagoan) dari generasi terdahulu yang bersedia menyebutkan siapa gurunya. Dahulu latihan ‘maen pukulan’ sifatnya tertutup. Bahkan, ada yang memulai latihan pada tengah malam dan berakhir menjelang siang.
BACA JUGA: Undang Ustadz Syafiq dan Ustadz Khalid Basalamah, Aparat Larang Seluruh Kajian di Muslim Life Fair
Di tempat latihan ‘maen pukulan’ ini sifat kependekaran ditempa. Adat pendekar Betawi adalah menang buah menang papan. Artinya, berantem menang, perkara di pengadilan juga harus menang. Karena itu, kiat untuk memenangkan perkara di pengadilan juga dibahas di tempat latihan ‘maen pukulan’.
Sejak 1950-an tempat latihan ‘maen pukulan’ yang tertutup berubah menjadi perguruan silat Betawi yang terbuka. Misalnya, Perguruan Silat Pusaka Sentra Kencana (berdiri 1952), Perguruan Silat Pendidikan Sinar Paseban, Kampung Kramat Sawah III (juga berdiri 1952), dan Perguruan Silat Putera Utama, Kayu Manis (berdiri 1960).
BACA JUGA: Cak Nun: Yang Mengatur Hujan Bisa Tuhan, Wakil-Wakil Tuhan, atau Makhluk Seperti Jin dan Manusia