Home > Sejarah

Pengalaman Menjadi Wartawan Istana, Bertemu Soekarno dan Soeharto

Wartawan Istana, yang pada zaman Orba diidentikkan sebagai wartawan kerajaan.

Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno.

Salah satu kesenangan Bung Karno adalah sarapan pagi di beranda antara Istana Merdeka dan Istana Negara, menghadap ke taman hijau luas. Dia sering mengajak wartawan sarapan pagi dengan hidangan pisang uli rebus atau kukus, yang harganya murah. Dia juga berbuat demikian saat sarapan pagi dengan para diplomat asing, seperti Dubes AS Howard P Jones.

Menurut rekan saya, wartawati Antara Ita Syamnsuddin, yang kala itu bertugas di Istana Negara, Bung Karno yang dikenal anti kolonialisme dan imperialisme serta dekat dengan kiri, sangat akrab dengan Dubes AS. Meskipun CIA punya rencana untuk menggulingkan Bung Karno, tapi secara pribadi Dubes AS adalah sahabat karibnya.

BACA JUGA: Mengapa Soekarno Ngotot Ingin Membangun Monas?

Bung Karno, menurut Ita Syamsudin, pernah mengajak wartawan Istana menyaksikan patung-patung yang ada di taman-taman ibukota. Dia hafal nama patungnya, nama pembuatnya, dan siap berkomentar untuk masing-masing patung. Di Monas, Bung Karno membeli rambutan. Kemudian menikmatinya bersama para wartawan.

Tentu, banyak kesan yang tak terlupakan selama delapan tahun menjadi wartawan Istana pada masa Presiden Suharto. Selalu terburu-buru, diuber waktu. Persisnya, harus mengejar dead line, yakni batas waktu kapan laporan atau tulisan harus disiapkan.

BACA JUGA: Daftar Gaji 7 Presiden Indonesia: Soekarno Hanya Bisa Beli Permen, Jokowi Bisa Beli Mobil Bekas

Sebagai wartawan Antara, saya harus bersaing dengan dua wartawan koran sore Sinar Harapan: Annie Bertha Simamora dan Moxa Nadeak. Begitu acara selesai, setelah Mensesneg Sudharmono SH memberikan keterangan, kami berebutan telepon untuk memberikan laporan kepada redaktur masing-masing di kantor.

Ada suatu hal yang tidak ada lagi sekarang. Di samping budaya telpon, pada masa Orde Baru sering seorang wartawan Antara melakukan peliputan atau membuat berita atas ‘titipan’ atau ‘permintaan’ dari pihak yang berkuasa. Suatu pagi sesudah peristiwa Malari (15 Januari 1974), saya diberitahu atasan ada pertanyaan titipan dari Hankam untuk Jendral TNI Soemitro, Panglima Kopkamtib, yang akan diterima Pak Harto di Cendana. Dia datang bersama Laksamana Sudomo.

BACA JUGA: Presiden Soeharto Dikejar Wartawan: Ngapain Ikut, Wong Saya Mau Kencing

Pertanyaan ‘titipan’ itu adalah, ”Benarkah Pak Mitro ingin mengadakan kudeta dengan menggerakkan para mahasiswa sehingga terjadi kerusuhan massal di berbagai tempat. Termasuk pembakaran proyek Senen dan ratusan mobil?”

Ketika saya tiba di Cendana semuanya wartawan menyatakan akan menunggu pertanyaan saya. Ketika itu, Pak Mitro membantah keras isu-isu bahwa ia ingin mengkudeta Pak Harto.

BACA JUGA: Humor Gus Dur: Jangan Cari Pemimpin Seperti Petruk yang Wataknya Berubah Saat Mau Jadi Raja

× Image