Pengalaman Menjadi Wartawan Istana, Bertemu Soekarno dan Soeharto
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Wartawan Istana, yang pada zaman Orba diidentikkan sebagai wartawan kerajaan, saya jalani dari tahun 1969 sampai 1977. Entah siapa yang memulai, sebutan wartawan kerajaan kala itu lebih populer dari pada julukan wartawan Istana.
Memang, penampilan wartawan Istana cukup mentereng. Tiap hari untuk menghadiri acara di Istana harus memakai dasi. Bahkan, pada saat-saat kepala negara menerima para tamu negara dari luar negeri harus memakai jas. Termasuk saat-saat kunjungan kenegaraan presiden ke luar negeri. Untungnya kami mendapat hadiah jas dari Pak Probosutedjo, adik Pak Harto.
BACA JUGA: Mengapa Pesta Halloween Identik dengan Labu Kuning?
Untuk itu, tidak tanggung-tanggung ia mendatangkan penjahit khusus dari Singapura, Tat Bee Taylor. Kami masing-masing disuruh memilih bahan dan mengukurnya. Hanya dalam waktu dua pekan pakaian lengkap tersebut sudah kami terima di Jakarta.
Sebelum ditugaskan meliput kegiatan kepresidnean pada masa Pak Harto berkuasa, saya pernah meliput kegiatan Bung Karno pada acara di luar Istana. Menurut rekan-rekan senior wartawan kala itu, Bung Karno sangat memperhatikan penampilan wartawan yang meliput kegiatannya. Dia tidak segan-segan merapikan kemeja dan dasi para wartawan, sekaligus menegurnya bila berbusana tidak rapi.
BACA JUGA: Petaka Malam Halloween di Itaewon, Awalnya Perayaan Menyembah Roh dan Setan
Bung Karno juga akan sangat marah bila wartawan salah menulis pidatonya. Lebih-lebih salah dalam menulis kalimat bahasa Inggris. Dia pernah marah ketika ditulis namanya Presiden Ahmad Sukarno. Bung Karno menyebut penulisnya sebagai wartawan tolol. Rupanya wartawan itu meniru sebuah harian di Timur Tengah yang menulis nama Bung Karno dengan tambahan ‘Ahmad’.