Senja di Batavia tak Kalah Indah dari Belanda
Di pusat pemerintahan VOC itu penduduk kota Batavia tiap hari disibukkan ke kantor, pasar atau sekadar pesiar keliling kota, sembari pamer kekayaan. Nyonya-nyonya besar Kompeni, serta nyai-nyai Belanda, bergaun serba mewah dengan rok bertingkat-tingkat kayak kurungan ayam. Mereka keluar mencari angin di samping kanal dan terusan Batavia dengan congkak.
Para budak dan bedinde berjalan mengiringi mereka. Memayungi wajahnya dari sengatan matahari tropis yang panas. Para budak wanita terus mengipas-ngipas mencari angin buat sang nyai yang terus mengunyah sirih pinang, memerahi bibirnya.
BACA JUGA: Sejarah Rebo Wekasan dan Mitos Puasa Tolak Bala dalam Tradisi Jawa dan Ajaran Islam
Sementara, di bawah keteduhan pohon kenari yang berjejer rapi di sepanjang tepian kanal dan terusan, penduduk Batavia lalu lalang di tengah seribu satu kesibukan. ”Saat senja menjelang, rumah-rumah pemandian di sepanjang tepian dinding kanal dan terusan, dipenuhi wanita telanjang dada berendam di air, zonder khawatir buaya pemangsa pria iseng yang datang mengintip,” tulis Thomas B Ataladjar dalam buku Toko Merah. Waktu itu, saat malam terang bulan, terutama malam Minggu, pemuda dan pemudi yang tengah kasmaran menyanyi sambil memetik gitar menjelajahi kanal-kanal dengan perahu.
Bagi penduduk Jabodetabek – Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi masa kini akan sangat sulit membayangkan kota Batavia yang santai pada akhir abad ke-18 dan juga abad ke-19. Sebagian bangunan dari masa itu sudah diratakan dengan tanah. Taman-taman yang indah mengelilingi vila-vila yang memberi warna Eropa pada kota Batavia telah hilang.
BACA JUGA: Roti Buaya Lambang Setia Sehidup Semati Pengantin Betawi
Beberapa bagian peninggalan masa lalu itu kini terkesan kumuh. Lalu lintasnya macet, sementara muara Ciliwung yang dulu dibanggakan dan dapat dimasuki kapal-kapal, tampak kotor, kehitaman dan berbau.