Lapangan Monas Saksi Sejarah Indonesia: Runtuhnya Belanda, Penjajahan Jepang, Demo Pembubaran PKI
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Lapangan Monumen Nasional (Monas) sempat diabadikan fotografer Walter Woodbury & James Page pada 1880-an, atau lebih satu abad lalu. Lapangan terluas di dunia ini, selama keberadaan sejak masa Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels (1808-1811) sering berganti nama. Mula-mula ia bernama Lapangan Buffelsveld (‘Buffalo Field’) atau Lapangan Kerbau. Tempat untuk menggembalakan kerbau dan ternak lainnya.
Marsekal Daendels sendiri, putra revolusi Prancis dan pengagum Kaisar Napoleon menamakan Champ de Mars, untuk menghormati kemenangan Prancis menaklukkan negeri Belanda. Sekaligus dijadikan pula sebagai lapangan parade dari kesatuan artileri.
BACA JUGA: Yang Musnah di Warung Buncit: Peternakan Sapi, Kebun Belimbing, Sampai Pedagang Kerak Telor
Tidak bertahan lama, setelah Napoleon ditaklukkan Inggris, namanya berganti lagi. Menjadi Koningsplein (Lapangan Raja) untuk mengabadikan Raja Nedcerland, Willem I. Di sebelah timur lapangan ini (kini Jl Merdeka Timur), pada 1834 dibangun sebuah gereja dan selesai lima tahun kemudian, juga mengadakan Raja Willem I, dan bernama Willemkerk (Gereja Wilem). Lapangan ini pernah dijadikan sebagai tempat pacuan kuda, sejak masa Raffles. Pacuan kuda salah satu kegemaran orang Inggris.
Sampai 1942, sebelum pendudukan Jepang, Belanda menyebutnya Koningsplein, tapi rakyat Jakarta hanya mau menyebut Lapangan Gambir. Di lapangan ini, sejak tahun 1930-an tiap tahun diadakan Pasar Gambir, untuk menghormati hari kelahiran Ratu Belanda, Wilhelmina.
BACA JUGA: Berapa Berat Emas Monas, Apakah Jika Dijual Bisa Buat Bayar Utang Negara?
Saat Pasar Gambir, kerak telor salah satu makanan khas Betawi yang banyak dijual. Para pedagangnya kebanyakan berasal dari kawasan Buncit, Jakarta Selatan. Kini, banyak di antara warga Buncit yang berdagang kerak telor turun menurun seperti yang telah dirintis para kakek mereka sejak di Pasar Gambir.