Ruwatan, Tradisi Masyarakat Jawa untuk Bebaskan Manusia dari Dosa
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Pada masa kolonial perusahaan pelayaran ditangani oleh KPM (Koninklijke Paketvaard Matchappij) yang memiliki 136 armada untuk melayani seantero Nusantara. Tapi, sejauh ini hampir tak pernah terjadi kecelakaan. Jumlah penumpang selalu terdata rapi sesuai dengan manifes yang tercatat. Pada 1957 perusahaan pelayaran Belanda ini diambil alih oleh Pelni.
Musibah lumpur panas Lapindo di Porong, Jatim, yang terjadi sejak Mei 2006, makin memanas ketika ribuan rakyat yang menuntut ganti rugi memblokir jalan tol, jalan arteri dan rel kereta api selama 33 jam. Tanpa ampun lagi ekonomi Jawa Timur, provinsi paling banyak penduduknya terguncang akibat aksi tersebut.
BACA JUGA: Gus Dur Kesal Usulan HAM Masuk GBHN Ditolak Politikus Golkar: Kakean Mangan Ham
Masih banyak lagi musibah lain yang terjadi di Tanah Air, seperti banjir, tanah longsor, kecelakaan kereta api, flu burung dan berbagai penyakit lainnya yang semuanya meminta korban jiwa cukup besar. Dan tentu saja yang paling baru adalah pandemi Covid-19 yang membuat ratusan ribu nyawa melayang.
Di era SBY menjabat sebagai presiden, ada yang menyarankan agar mengadakan ruwatan. Ruwatan biasanya diselenggarakan masyarakat Jawa sebagai usaha untuk membebaskan manusia dari aib dan dosa, sekaligus menghindarkan diri agar tidak dimangsa Batara Kala (Dewa Waktu).
BACA JUGA: Sunan Kalijaga Ciptakan Wayang, Sunan Ampel tak Ingin Islam Tercampur Budaya dan Tradisi
Menurut mitologi Hindu, Batara Kala adalah putra Batara Guru (Dewa Siwa) yang berwujud raksasa. Ruwatan, yang artinya kembali ke semula, lazimnya dilaksanakan dengan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwakala lakon yang berkisah tentang Batara Kala.