Home > Sejarah

Calo dan Korupsi Sulit Hilang dari Indonesia karena Sudah Merajalela Sejak Imperium VOC Berkuasa

Budaya korupsi di Indonesia sulit hilang karena sudah merajalela sejak imperium VOC berkuasa.

Di masa VOC untuk menggemukkan kantongnya sendiri, sang gubernur jenderal menjual jabatan-jabatan ’empuk’ atau ‘basah’, pada mereka yang berani menyogoknya. Bahkan, ada calon pejabat harus membayar kontan 50 ribu gulden dan selanjutnya tiap bulan menyerahkan 7.000 ringgit. Dan, setelah yang bersangkutan memperoleh kedudukan basahnya tersebut ia akan berusaha untuk memperoleh jumlah dua kali lipat dari yang pernah ia berikan. Caranya, tentu saja dengan penyelewengan dan pemerasan.

Di samping itu, pejabat yang diangkat di tempat yang ’empuk’ itu setiap tahun harus memberi 50 ribu gulden kepada gubernur jenderal sebagai balas jasa (upeti). Para pemegang hak memungut pajak Tionghoa, terutama pajak judi dan candu, turut menambah penghasilan bagi gubernur jenderal.

BACA JUGA: Banjir Darah di Batavia Usai Tentara VOC Bantai 10 Ribu Orang China dari Balita Hingga Manula

Karena, untuk jabatan-jabatan itu dilakukan pelelangan, maka para tukang lelang sekaligus bertindak sebagai calo. Mereka menawarkan jumlah upeti yang harus diberikan pada atasannya. Korupsi dan percaloan bukan hanya di kalangan gubernur jenderal. Juga marak di eselon para pembantunya, terutama para residen.

Dalam buku Toko Merah yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta disebutkan, Gubernur Jenderal William Herman Daendels digaji 118 ribu gulden setahun dan gajinya sebagai jenderal 12 ribu gulden. Walaupun gajinya terbilang besar, namun dalam kurun tiga tahun pemerintahannya (1908-1911), ia masih bisa menggaruk 553.275 ringgit dari sarang burung di Yogyakarta. Tanah partikulir yang diberikan kepadanya juga dijual dengan nilai lebih dari satu juta ringgit.

BACA JUGA: Daendels Bangun Jalan Anyer-Panarukan, Thomas Raffles Pugar Candi Borobudur

Datang dari tempat yang jauhnya ribuan kilometer dari Eropa ke Batavia, sebagai kompensasi para pejabat kompemi berusaha mengumpulkan uang sebanyak mungkin sebagai bekal bila kembali ke negerinya. Mereka juga hidup sangat boros, membangun vila-vila mewah di luar kota, yang sebagian masih dapat kita saksikan saat ini.

Mereka dan keluarganya dilayani puluhan, bahkan ada yang memiliki lebih seratus budak. Seperti juga sekarang, memiliki rumah mewah dan setumpuk pembantu merupakan gengsi.

BACA JUGA: Kerangkeng di Rumah Bupati Langkat Seperti Perbudakan di Zaman Belanda

Di zaman itu, makin banyak memelihara budak tingkat sosial mereka makin tinggi. Tidak heran kalau di Batavia sekitar 50 persen dihuni para budak. Kawasan Kalibesar Jakarta Kota pernah jadi tempat pelelangan budak.

.

TONTON VIDEO PILIHAN:

.

BACA BERITA MENARIK LAINNYA:
> Humor NU: Orang Muhammadiyah Ikut Tahlilan Tapi Gak Bawa Pulang Berkat, Diledek Makan di Tempat Saja

> Bolehkah Makan Nasi Berkat dari Acara Tahlilan? Halal Bisa Jadi Haram

> Banyak Pria Jakarta Sakit Raja Singa Gara-Gara Wisata "Petik Mangga"

> Kata Siapa Muhammadiyah tidak Punya Habib, KH Ahmad Dahlan Itu Keturunan Rasulullah

> Pak AR Salah Masuk Masjid, Diundang Ceramah Muhammadiyah Malah Jadi Imam Tarawih di Masjid NU

> Humor Gus Dur: Yang Bilang NU dan Muhammadiyah Berjauhan Hanya Cari Perkara, Yang Dipelajari Sama

> Humor Cak Nun: Soal Rokok Muhammadiyah Terbelah Jadi Dua Mahzab

> Humor Ramadhan: Puasa Ikut NU yang Belakangan, Lebaran Ikut Muhammadiyah yang Duluan

> Muhammadiyah Tarawih 11 Rakaat, Pakai Formasi 4-4-3 atau 2-2-2-2-2-1?

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

× Image