Raden Saleh, Lukisan Pangeran Diponegoro, dan Perang Jawa yang Bikin Bangkrut Belanda
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Film Mencuri Raden Saleh baru saja tayang di layar lebar dan mencuri perhatian masyarakat. Film yang menceritakan tentang mahasiswa seni rupa yang mencari uang dengan mencuri lukisan tentang penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh. Sang mahasiswa lalu mencoba memalsukan lukisan untuk membebaskan ayahnya dari penjara ini disebut menghabiskan dana hingga Rp 20 miliar. Namun siapakah Raden Saleh yang menjadi centre point dalam film tersebut?
Raden Saleh Syarif Bustaman adalah pelukis beraliran narutalis yang memancangkan tonggak sejarah seni rupa Indonesia abad ke-19. Ia dimakamkan di Bogor, tepatnya di Gang Makam Raden Saleh, Jalan Pahlawan, Kelurahan Empang, Bogor Selatan, Di gang kecil yang tidak dapat dilalui mobil tersebut terbaring jasad Raden Saleh yang bersebelahan dengan makam istrinya RA Danurejo, putri dari Kesultanan Mataram, Yogyakarta.
BACA JUGA: Sejarah Kelam di Balik Lomba Panjat Pinang
Makam pelukis yang karya-karyanya banyak dikagumi di mancanegara ini nyaris tidak diketahui orang, kalau saja pada 1923 atau 43 tahun setelah wafatnya pelukis ini, Adung Wiriatmadja, mantan wakil kepala Kejaksaan Bogor, tidak membersihkan alang-alang. Saat itu tanpa sengaja ia menemukan makam R Saleh, di tanah milik keluarganya itu, cerita R Isun Sunarya (64 tahun), keponakan Adung. Mengapa pelukis terkenal dan istrinya dimakamkan di tempat terpencil? Menurut Isun Sunarya, ”Sebelumnya di tanah ini dimakamkan leluhur kami Raden Panuripan. Sedangkan Raden Saleh dimakamkan di sini, karena ia tinggal di Bogor. Di samping itu, ia dan istrinya sebagai raden setingkat dengan leluhur kami," kata juru kunci situs makam Raden Saleh itu.
Makam ini dipugar 16 September 1953 atas inisiatif Bung Karno. Untuk itu, presiden pertama RI memanggil arsitek F Silaban yang menangani masjid Istiqlal untuk membangun monumen di depan makam pasangan suami istri yang berdampingan itu.
BACA JUGA: Humor Gus Dur: Grogi, Banser Terbalik Sebut Abdurrahman Saleh Mendarat di Bandara Abdurrahman Wahid
Ketika tutup usia April 1880, lokasi kediamannya di Jl Juanda, Bogor yang dekat pasar lama Ramayana, kini menjadi gedung Direktorat Jenderal Pajak Kota Bogor. R Saleh Syarif Bustaman, putra Sayid Husein bin Yahya, yang dilahirkan di Semarang (1811) ini punya perhatian besar terhadap Islam. Namun sayangnya kurang banyak diketahui orang. Kabarnya, selama bertahun-tahun di Eropa, pelukis ini telah mengalami perjalanan batin yang begitu mendalam. Salah satu peninggalannya adalah sebuah masjid berukuran 5×5 meter, yang dikenal dengan ‘masjid biru’, mengacu pada warna langit-langit hotel itu.
Terletak di salah satu bukit yang rimbun, masjid berukuran 5×5 meter ini direnovasi pada 1998 untuk memperingati 150 tahun pembangunannya. Selain sebuah masjid mungil, kenangan Raden Saleh lainnya terhadap Jerman adalah kediamannya yang kini menjadi RS Dewan Gereja Indonesia Cikini, Jakarta Pusat. Di kediamannya yang sangat luas, ia membangun ‘istana’ dengan meniru gaya Istana di Coburg, Jerman. Tempat kediamannya itu kini menjadi asrama perawat RS DGI Cikini.
BACA JUGA: Lirik Lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet Viral dan Diprotes Ulama-Ulama Jawa Timur
Kediaman Raden Saleh terbentang dari TIM, dua bioskop (Garden Hall dan Podium), kolam renang, SLTP I Cikini, hingga ke RS DGI Cikini. Sebelum dipindahkan gubernur Ali Sadikin ke Ragunan pada 1967, kebon binatang di Jakarta terletak di kediaman R Saleh. Alkisah, kesadaran beragama R Saleh makin meningkat. Setelah cerai dengan istri pertamanya –seorang Indo– ia kemudian mengawini wanita muslimah keturunan ningrat. Di dekat kediamannya itu, pada 1860, ia membangun surau.
Setelah beberapa kali tergusur, surau tersebut kini berada di tepi kali Ciliwung, di Jl Raden Saleh yang dikenal dengan nama Masjid Cikini. Ketika pindah ke Bogor, pelukis ini menjual rumah beserta tanahnya pada Sayid Abdullah bin Alwi Alatas, pemilik gedung Museum Tekstil di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Ketika kemudian rumah dan tanah itu dijual pada Koningen Emma Ziekerhuis (Yayasan Ratu Emma) dengan harga 100 ribu gulden, pada 1897, Raden Saleh sudah meninggal dunia.
BACA JUGA: Profil Kapiten Pattimura: Agama dan Perjuangannya Melawan Belanda, Benarkah Beragama Islam?
Mengetahui rumah dan tanah itu akan dijadikan rumah sakit, Abdullah Alatas memotong harga penjualan jadi 50 ribu gulden, sembari menegaskan masjid bukan bagian yang dijual dan tidak boleh dibongkar. Pada saat kemerdekaan, Yayasan Emma secara diam-diam mengalihkan kepemilikan RS Cikini kepada DGI yang dipimpin dr Leimena. Setelah terjadi sengkata cukup lama, baru pada tahun 1991, masjid ini terselamatkan dengan memperoleh sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional.