Baru Merdeka, Indonesia Dihadapi Sederet Masalah: Kemiskinan, Kelaparan, Sampai Perebutan Kekuasaan
Wartawan Muchtar Lubis yang menginjak kakinya pertama kali di Jakarta pada tahun 1940, menulis, ”Sungguh nyaman kota Jakarta di masa itu. Pinggir jalan penuh dengan pohon-pohon asam, johar dan berbagai pepohonan lainnya, memberi naungan dan perlindungan di waktu panas terik.”
Walaupun hidup sangat sederhana, mandi di kali (ngobak) saai itu sangat nikmat. Airnya jernih dan dalam. Sungai-sungai masih lebar dan belum tercemar seperti sekarang.
BACA JUGA: Humor: Soekarno Otak Kanan Besar, Habibie Otak Kiri Besar, Gus Dur Sama Besar Tapi Suka Gak Nyambung
Kendaraan umum kala itu didominasi trem yang menggelinding di hampir segenap penjuru Jakarta. Bayarnya juga murah, hanya 10 sen. Untuk anak sekolah, bila berlangganan, cukup bayar setengah harga.
Sayangnya, merasa negaranya sudah merdeka banyak orang yang naik trem tidak mau membayar. Kalau ditanya, jawabnya, ”numpang”. Seperti juga sekarang, banyak yang tidak membeli karcis ketika naik KRL.
BACA JUGA: 3 Resep Hidup Sehat Haji Bolot: Jangan Ambisi, Jangan Syirik, Banyak Sedekah
Jangan dikata suasana politik kala itu. Dalam demokrasi parlementer yang oleh Bung Karno dicemooh sebagai free fight liberation, partai-partai saling cakar dan jegal-jegalan. Krisis kabinet, kata Bung Karno, seperti dagangan kue, dagangan kacang goreng. Antara 1950-1959 Indonesia mengalami 17 kali krisis kabinet yang rata-rata sekali tiap 8 bulan.
Polemik dan caci maki terjadi di surat-surat kabar yang kala itu rata-rata terbit tidak lebih dari empat halaman. Yang perlu diacungi jempol adalah kesetian orang untuk membaca koran dari partai yang mereka minati, seperti Abadi (Masyumi), Harian Rakyat (PKI), Suluh Indonesia (PNI), Duta Masyarakat (NU), Pedoman dan Keng Po (PSI), serta Bintang Timur (berhaluan kiri). Bahkan, partai-partai kecil pun kala itu juga memiliki media sendiri, seperti Berita Indonesia (Partai Murba) dan Sin Po (Baperki).