Home > Sejarah

Muda-mudi Jakarta Tiru Dandanan Noni Belanda, Cari Gandengan di Gedung Jodoh

Hiburan pemuda pemudi di Jakarta hingga tahun 1950-an belum sebanyak saat ini, bioskop masih merajai.

Pacaran tempo doeloe tidak perlu banyak keluar duit. Restoran masih sedikit. Kafe dan mal belum muncul. Ketika itu, di depan museum (Lapangan Gambir, kini Monas), masih banyak dijumpai pohon sengon dan beringin.

Di sana orang bisa berjualan atau berteduh. Bermacam-macam makanan Betawi dijual di lapangan yang dibangun pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) itu.

BACA JUGA: Preman-Preman dan Bandar Narkoba Kelas Teri Ditangkap, Kok Bandar Utama tak Tersentuh?

Mulai dari sop kaki, sop buntut yang dipercaya bisa meningkatkan stamina pria, sop kambing sampai soto daging yang disebut soto Betawi. Kuah soto bersantan diisi dengan daging, iso, babat, dan paru yang kini dikenal dengan istilah jeroan.

Kini ditakuti karena kolesterolnya tinggi. Tapi dulu, sakit jantung merupakan penyakit kesepuluh penyebab kematian yang kini melompat jadi penyebab kematian nomor wahid.

BACA JUGA: Kronologi Perseteruan Marcel Pesulap Merah Vs Gus Samsudin, Terbongkarnya Trik Kesaktian Dukun Palsu

Dengan koleksi ratusan ribu benda bersejarah, sejak pertengahan 1990-an Museum Nasional diperluas ke samping bagian kiri. Untuk itu, Jalan Museum salah satu kawasan elite harus rela tergusur dan tidak satu pun rumah dan kantor tersisa.

Dulu di salah satu rumah cukup luas di Jl Museum merupakan tempat dansa-dansi. Yang datang tentu saja muda-mudi. Sambil berdansa kalau cocok mereka bisa bikin janjian.

BACA JUGA: Kemenkominfo tak Blokir Situs Judi, Gubernur Ali Sadikin Malah Pernah Legalkan Judi di Jakarta

Tapi, diperlukan doku yang lebih tebal. Apalagi kalau punya motor mudah mengajak gadis jalan-jalan. Motor yang sekarang jumlahnya jutaan hingga jadi penyebab utama kemacetan di Jakarta, ketika itu merupakan barang mewah. Apalagi kalau memiliki scooter mudah menggaet gadis. Hingga ada istilah ‘gadis bensin’.

Tempat hiburan paling disukai bioskop. Maklum kafe, mal, dan night club belum muncul. Televisi baru dinikmati 1962 dan masih hitam putih. Bioskop-bioskop kelas satu seperti Metropole, Menteng, Garden Hall, dan Capitol meskipun harganya lebih mahal, tapi masih bisa terjangkau oleh rakyat biasa.

BACA JUGA: Pangeran Alibasah dari Cirebon Kobarkan Perang Lawan Tuan Tanah Zalim di Tambun Hingga Citayam

Hanya beberapa hari mengumpulkan uang jajan sekolah kita dapat menikmati film-film AS dan Barat (terutama Italia). Waktu itu, bioskop terbagi dalam kelas-kelas. Seperti balkon, loge (baca lose), stalles (kelas I), dan kelas II (yang letaknya di bagian depan dekat layar).

Kalau saja kita mau lebih serius untuk mendapatkan pujaan hati, kita terlebih dulu harus mendatangi rumah si gadis. Kala itu namanya ngelancong artinya bertandang. Sang pemuda ngelancong ke rumah si gadis, setelah diketahui ayah si gadis tidak keberatan untuk menerimanya sebagai calon menantu.

BACA JUGA: Download Lagu Gratis dari Video Youtube Jadi MP3 Pakai MP3 Juice: Mudah dan Cepat

× Image