Masjid-Masjid Warisan Orang Arab dan India di Batavia
Di Jalan Pekojan, yang hingga kini masih terdapat banyak bangunan tua bergaya Moor, terdapat sebuah masjid tua yang dibangun oleh orang Arab dari Hadramaut. Masjid An-Nawier yang dibangun pada 1760, menurut Dinas Permuseuman dan Kebudayaan DKI Jakarta, di masa-masa lalu sangat erat hubungannya dengan masjid kuno di Keraton Surakarta dan Keraton Banten. Konon, setiap ada tiap keluarga sultan atau para ulama yang meninggal di Solo, berita ini disampaikan ke Masjid Pekojan agar dilakukan shalat gaib.
Hal semacam ini juga dilakukan di masjid keraton bila ada tokoh ulama Jakarta meninggal dunia. Masjid yang semula hanya sebuah langgar (surau), pada awal abad ke-20 telah diperluas oleh Habib Abdullah bin Husin Alaydrus, yang memiliki tanah sangat luas di Jakarta. Tempat tinggalnya hingga kini diabadikan di Jl Alaydrus, dekat Harmoni.
Pada masa Perang Aceh, ia banyak menyelenundupkan senjata untuk para pejuang Aceh. Almarhum juga berjasa saat-saat berdirinya perguruan Islam ‘Jamiatul Kheir,’ awal abad ke-20. Masjid jami yang dapat menampung sekitar 2.000 jamaah, mimbarnya merupakan hadiah dari Sultan Pontianak Syarif Algadri.
Di Pasar Ikan, Jakarta Utara, terletak Masjid Luar Batang. Masjid yang hingga kini masih berdiri megah dan tentu saja sudah direnovasi, letaknya hanya beberapa ratus meter di belakang benteng yang dibangun oleh JP Coen. Seperti masjid-masjid tua lainnya, mula-mula masjid ini hanya sebuah mushala, di tempat pemukiman para nelayan.
Masjid ini, yang sudah berusia 263 tahun, banyak didatangi para peziarah dari berbagai tempat di tanah air. Di masjid ini terdapat makam Habib Husin Bin Abubakar Alaydrus, yang meninggal dunia pada 17 Ramadhan 1169 H atau 24 Juni 1756. Ia juga sekaligus pendiri masjid tersebut. Menurut keterangan warga sekitar, sebelum datang ke Indonesia, habib terlebih dulu tinggal di Gujarat (India).
Pada malam Jumat, para peziarah bisa mencapai ribuan orang, sambil membaca surah Yasin, meskipun untuk memasukinya kita harus menyeberangi jembatan kayu di muara Ciliwung. Tiap orang diharuskan membayar antara Rp 500 hingga dan Rp 1.000.