Profil Kapiten Pattimura: Agama dan Perjuangannya Melawan Belanda, Benarkah Beragama Islam?
Kapiten Pattimura sejam 1973 diakui negara sebagai pahlawan nasional. Gambar wajahnya menghiasi uang kertas pecahan Rp 1.000. Dalam historiografi Indonesia modern, seperti dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (jilid keempat), sosok ini disebutkan punya nama asli Thomas Matulesy. Namun dalam buku yang terbit pada era Orde Baru tersebut tidak menjelaskan apa agama Pattimura. Ahmad Choirul Rofiq dalam Menelaah Historiografi Nasional Indonesia (2016) berkata, wajar bila ada anggapan nama ‘Thomas’ khas budaya Eropa atau terpengaruh Kristen. "Sehingga yang bersangkutan beragama Nasrani," kata dia.
Namun, teori lain bermunculan yang menyebut Pattimura adalah seorang Muslim. Sebelum diramaikan UAH, sejarawan Prof Ahmad Mansur Suryanegara lebih dulu mengajukan argumentasi yang mengungkapkan jati diri Pattimura. Dalam bukunya, Api Sejarah 1 Prof Mansur menyebut Kapitan Pattimura bernama asli Ahmad Lussy alias Mat Lussy yang lahir di Hualoy, Seram Selatan dan beragama Islam.
BACA JUGA: Asal Usul Guling, Tercipta untuk Melampiaskan Hasrat Orang Belanda yang Kesepian
Menurut Prof Mansur, sejak dulu siapapun yang menyandang nama ‘Pattimura’ di Ambon dan sekitarnya merupakan Muslim. “Oleh karena itu, salahlah jika dalam penulisan sejarah, Kapten Pattimura disebut seorang penganut Kristen,” tulis Suryanegara (2014: 202).
Dalam pemberitaan di Republika.co.id, pada 1789, di Maluku terjadi pergantian pemerintahan dari Belanda ke tangan Inggris. Saat itu, Pattimura telah berusia remaja. Beberapa sumber menyebut, dia sempat bergabung dengan dinas kemiliteran Inggris.
BACA JUGA: Download GB WhatsApp (GB WA) di Sini: Gratis, Aman, Cepat, dan Anti-banned
Konvensi London 1814 menyebabkan beberapa daerah di Nusantara kembali jatuh dari Inggris ke tangan Belanda. Termasuk di dalamnya adalah Maluku. Sementara itu, VOC telah dinyatakan bangkrut sejak 31 Desember 1799 sehingga mengubah tata kolonial di wilayah jajahannya.
Belanda kian berlaku kejam terhadap penduduk Pribumi Maluku. Masyarakat setempat dijadikannya tenaga kerja paksa antara lain untuk membuat garam, membuka kebun-kebun pala, dan kemiliteran. Sejak bubarnya VOC atau awal abad ke-19, rakyat Maluku dipaksa untuk menerima uang kertas keluaran Belanda sebagai alat transaksi.