Naik Haji Zaman Belanda Taruhannya Nyawa, Ditipu, dan Dicap Pemberontak
Pergi haji tahun itu harus tahan mental. Beberapa penderitaan selama pelayaran lebih satu bulan itu harus dijalani oleh para calon jamaah haji. Sebelum sampai ke Jeddah, para jamaah harus diturunkan di Kamerun, Afrika Utara. Di sini mereka dikarantina selama tiga hari. Mereka diperlakukan tidak manusia, mandi dengan air asin dan mendapatkan makanan sangat minim.
Sepulang dari ibadah haji, jangan harap para jamaah bisa langsung kembali ke keluarganya. Mereka kembali di karantina dengan jangka waktu yang sama, di Pulau Onrust, salah satu pulau dari Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta. Bahkan para jamaah haji masih diperlakukan tidak wajar, seperti ditelanjangi.
BACA JUGA: Liburan Hemat dan Murah, Naik Kereta dari Jakarta ke Bandung Cuman Modal Rp 17 Ribu, Begini Caranya
Akibat perlakuan yang sangat merendahkan derajat umat Islam ini, sejumlah ulama khususnya di Pulau Jawa mengeluarkan fatwa: ''Tidak wajib bagi kaum wanita pergi haji berhubung dengan perlakuan yang kurang baik di jalan.''
Perlakuan di luar kemanusiaan juga dilakukan oleh perusahaan 'Kongsi Tiga'. Menurut buku Lintasan Sejarah Perjalanan Jamaah Haji Indonesia, para jamaah, baik pria, wanita dan anak-anak ditempatkan di ruangan yang sangat sempit siang dan malam. Akibatnya norma-norma kesopanan dan tata susila tidak terjamin walaupun perjalanan itu dalam rangka ibadah haji.
BACA JUGA: Naik Haji Diundang Raja Saudi dan Makan Malam Pakai Kambing Guling
Yang menyedihkan, saat berada di Tanah Suci pun penderitaan jamaah ini belum juga berakhir. Tragedi seperti terjadi di kapal terulang kembali. Tanpa mengenal kemanusiaan dan hanya mengejar keuntungan, oleh para syekh mereka ditempatkan di ruangan yang tidak baik ventilasi udaranya maupun sanitasinya.