Kisah Pilu Warga Belanda Ketika Disekap Jepang: Ditusuk Besi Panas Hingga Terpaksa Jadi LGBT
Menurut catatan, lebih 100 ribu tawanan perang warga Eropa di internir (ditawan) Jepang. Mereka ditempatkan di berbagai kamp di seluruh Indonesia. Banyak cerita mengerikan dan memilukan tentang nasib tawanan di kamp interniran.
Dengan semboyan "Untuk Kemakmuran Asia", Jepang bermaksud menghilangkan semua pengaruh Barat. Semua orang yang bukan Asia nasibnya akan berakhir dalam kamp-kamp tawanan perang dan sipil.
BACA JUGA: Germo Portugis Pasok Cabo ke Batavia, Banyak Pejabat Belanda Jadi Pelanggannya
Ada yang menarik di kamp tawanan ini. Laki-laki dan perempuan dipisahkan guna mencegah terjadinya hubungan seksual. ”Akibatnya terjadi hubungan homoseksual dan lesbian di kamp-kamp,” tulis Joost Cote dalam Recalling the Indies.
Bahkan hubungan seksual antara penjaga kamp Jepang dan tahanan perempuan pun terjadi. Seorang tahanan wanita menulis, ”Saya tidak akan lupa apa yang mereka lakukan pada bapak saya. Kempetei (polisi militer Jepang) menahan dia bersama kakak saya. Kakak saya harus duduk di depan bapak dan harus menyaksikan bapak ditusuk dengan tongkat merah membara yang dibungkus batok kelapa yang dibakar. Kemudian dicap di muka bapak dalam waktu yang lama.” Masih banyak lagi kisah-kisah menyedihkan dalam kamp-kamp tahanan perang dan sipil Jepang.
BACA JUGA: Minta Apa Pun akan Aku Beri, Gombalan Purba untuk Para Wanita
Di Jakarta terdapat belasan tempat yang oleh Jepang dijadikan sebagai kamp tawanan perang dan sipil. Seperti tempat penampungan kuli-kuli kontrak di Sluiweg (kini Matraman) yang berisi tak kurang dari tiga ribu tawanan laki-laki Belanda dari berbagai tempat di Batavia.
Jumlahnya makin membengkak ketika September 1944 ditempatkan pula para wanita dan anak-anak. Ketika September 1945, setelah Jepang bertekuk lutut, tentara sekutu menemukan 1.900 tawanan Belanda dalam keadaan menyedihkan.