Rasisme di Indonesia Warisan Penjajah Belanda: Pribumi Dilarang Naik Trem di Gerbong Depan
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Trem uap mulai beroperasi di Batavia (Jakarta) pada 1881 menggantikan trem kuda. Trem uap yang meluncur dari Meester Cornelis (Jatinegara)-Pasar Ikan (Kota), hanya bertahan selama 18 tahun dan kemudian digantikan trem listrik pada 1899.
Trem uap juga meluncur membelah jalan Matraman-Jatinegara. Jakarta ketika itu masih teduh dan rimbun dengan pepohonan di kiri kanan jalan.
BACA JUGA: Humor Gus Dur: Staf Menteri Ditelepon Presiden Malah Tanya dari Siapa
Seorang pendatang dari negeri Belanda ke Batavia pada awal abad ke-20 menulis, dari kejauhan terdengar bunyi lonceng trem uap, persis seperti di Belanda. Di atas lokomotif berdiri masinis pribumi dengan petugas yang menyalakan api. Dua kondekturnya adalah orang Betawi muda yang berseragam tapi tanpa alas kaki.
Sementara kepala kondektur adalah seorang Eropa pensiunan tentara. Trem itu memiliki kelas satu dan kelas dua dan masih ada gerbong khusus kelas tiga untuk orang pribumi yang membayar dengan murah.
BACA JUGA: Daftar Negara Pemenang Thomas Cup: Indonesia Menuju Gelar Juara ke-15
Namun, orang-orang dari kelompok Tionghoa, Arab, dan negara Asia lainnya tidak diperbolehkan duduk di kelas tiga. Mereka harus naik di kelas dua yang harganya lebih mahal. Tapi juga dilarang naik kelas satu yang hanya diperuntukkan bagi warga Eropa.
Ini ada hubungannya dengan prasangka rasis gila di mana banyak orang Eropa di Hindia Belanda masih menganutnya. Orang-orang yang di Belanda hanya seorang pemerah susu, hanya karena mereka tidak memiliki kulit sawo matang yang indah seperti orang-orang pribumi, di Hindia Belanda mereka menganggap dirinya luar biasa.
BACA JUGA: Humor Gus Dur: Ketiduran di Makam Ketika Ziarah Tengah Malam, Pas Bangun Malah Dikira Hantu