Home > Sejarah

Warga Betawi Lebaran di Jakarta yang Ditinggal Pendatang Pulang Kampung

Bagi masyarakat Betawi persiapan menyambut Idul Fitri boleh dibilang telah dilakukan sejak tibanya Ramadhan.

Pada 1950-an penduduk Jakarta tidak sampai dua juta jiwa. Tapi, tidak mengurangi gairah mereka menyambut Idul Fitri. Bahkan, suasana syiar agama lebih syahdu. Kalau sekarang sudah hampir tidak dikenal malam likuran — yaitu malam-malam ganjil saat Ramadhan, terutama mulai malam 21 sampai 29.

Dulu, malam likuran sangat ditunggu-tunggu. Suasana di kampung di malam hari seperti siang. Rumah mereka dikapur atau dicat menyambut lebaran. Halamannya diterangi lampu minyak atau lilin. Orang-orang tua banyak begadang sambil mengaji, tadarus dan berzikir.

BACA JUGA: Muhammadiyah: Anak Kos yang Hanya Makan Mie Instan Bisa Diberi Zakat

Begitu gigihnya ketika itu mereka beribadat sampai ada yang khatam Alquran tiga kali selama Ramadhan. ”Insya Allah kite akan dapetin Lailatul Qadar,” kata mereka dengan yakin.

Bukan hanya orang tua, anak-anak muda Betawi pada malam ganjil berada di masjid atau mushala. Mereka juga begadang semalam suntuk mengaji dan tadarus dibimbing seorang ustadz.

Sementara ibu-ibu dan para anak gadisnya tidak kalah sibuk. Mereka membuat kue lebaran seperti kue nastar, lapis, wajik, dan tidak ketinggalan dodol serta tape uli.

BACA JUGA: Cak Nun: Ikut Muhammadiyah Otomatis Jadi NU, Kalau Ikut NU Puncaknya Jadi Muhammadiyah

× Image