Cerita Buaya-Buaya Darat Setiabudi yang Kabur Gara-Gara Kali Krukut Tercemar Limbah Pabrik Batik
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Dukuh Atas adalah salah satu kampung tua di kelurahan Setiabudi, letaknya diujung Jl Blora dan Jl Kendal. Jl Blora, Jakarta Pusat, sampai 1970-an terkenal dengan Sate Bloranya. Pada masa Gubernur Ali Sadikin, ketika steambath (panti pijat) dan klub malam banyak berdiri di Jl Blora, tukang sate dipindahkan ke Jl Kendal, bersebelahan dengan Blora.
Para tukang sate, sop dan gorengan itu awalnya berdagang di Pasar Tanah Abang. Di antara pedagang sate terkenal adalah Mat (Muhammad) Kumis. Kini, banyak pedagang sate, sop kaki, dan soto yang menambahkan nama Kumis di belakang namanya. Yang pasti, tidak semua pedagang sate berkumis.
BACA JUGA: Sejarah Gelar Haji di Indonesia, Diberikan Belanda untuk Redam Perlawanan Umat Islam
.
Banyaknya penumpang yang turun dan naik di Stasiun Sudirman karena dari sini mereka dengan mudah mendatangi tempat kerjanya di sekitar Jl Jenderal Sudirman, Jl Thamrin, dan Setiabudi. Namun, ada yang mempertanyakan, kenapa nama Stasiun Dukuh Atas kini jadi Stasiun Sudirman. Padahal Jalan Sudirman baru ada setelah Bung Karno membangunnya awal 1960-an, saat menghadapi Asian Games 1963.
Sedangkan Dukuh Atas sudah berusia ratusan tahun. Berawal dari Kampung Dukuh. Karena letaknya di bagian atas dinamakan Dukuh Atas. Di dekatnya terdapat Kampung Dukuh Bawah, di sebelah timur SMU 3 Setiabudi. Karena terletak di bagian bawah, kampung yang berbatasan dengan Jl Halimau dan Jl Kawin itu dinamakan Dukuh Bawah.
BACA JUGA: Belanda Akhirnya Akui Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, Akankah Minta Maaf?
Nama Setiabudi, seperti dituturkan H Irwan Syafe’i (75 tahun), punya arti tersendiri. Ketika hendak dibangun SMA 3 dan kavling-kavling (perumahan) awal tahun 1950-an, masyarakat Betawi mengikhlaskan rumahnya digusur. Mereka, oleh seorang pimpinan DKI (masih DCI) Jakarta, lantas dijuluki sebagai rakyat yang setia dan berbudi (setiabudi).
Jl Halimun dan Jl Kawi di Kelurahan Guntur, seperti juga daerah Kuningan lainnya, kini telah disulap menjadi hutan beton. Jalan Halimun, pada 1950-1960-an merupakan kawasan pelacuran kelas bawah di Jakarta. Sekarang ini banyak yang mangkal di sekitar Jl Sultan Agung, di pinggir jalan kereta api Jl Latuharhari, bersama para waria yang mangkal hingga subuh.
BACA JUGA: Kenapa Plat Nomor Jakarta B Bukan J? Ternyata Gara-Gara Tentara Inggris Invasi Hindia Belanda