Home > Sejarah

Gara-Gara Masjid Kampus UGM, Ganjar Pranowo Jadi Bulan-bulanan di Twitter, Ini Sejarah Masjid UGM

Masjid UGM mulai dibangun pada 1998.

Masjd Kampus UGM
Masjd Kampus UGM

PEMINDAHAN MAKAM DIMULAI

Setelah lahan lokasi pemindahan makam didapatkan, dimulai pencarian ahli waris untuk mendapat persetujuan pemindahan makam. Jumlah makam yang harus dipindahkan oleh panitia pada tanah seluas 2,8 hektar tersebut adalah 1.800 makam. Untuk menghindari masalah hukum yang akan timbul dalam proses tersebut, kegiatan pemindahan makam dimulai dalam iklan pada surat kabar Bernas dan Sinar Harapan.

Iklan tersebut ditayang sebanyak tiga kali dalam jangka waktu tiga bulan. Isi iklan adalah pemberitahuan kegiatan pemindahan dan mengumumkan pada ahli waris yang menyerahkan proses pemindahan pada pihak UGM tidak akan dipungut biaya apa pun. Akan tetapi jika ada yang ingin mengurus sendiri tetap dipersilahkan asalkan tetap berkoordinasi dengan pihak UGM menyangkut administrasi pendataan.

BACA JUGA: Benarkah Malam Nuzulul Quran adalah Malam Alquran Diturunkan? Ini Penjelasan Gus Baha

Setelah diiklankan, terdapat 400 ahli waris yang menghubungi pihak UGM. Sisanya sebanyak 1.400 makam tetap diurus oleh pihak UGM.

Kegiatan pemidahan makam dilakukan dengan memberikan nomor pada makam asal dan mengatur makam-makam tersebut sesuai dengan kapling pada makam tujuan. Kegiatan ini membutuhkan pendataan yang cermat dan teliti agar tidak terjadi kesalahan pemindahan ataupun salah identifikasi makam.

BACA JUGA: Cara Download dan Instal GB WhatsApp Paling Baru, Cek Link di Sini, Gratis dan Cepat

Untuk mengantisipasi, peti mati diberi nomor berikut tutupnya dan juga kapling makam tujuan. Ukuran kapling makam di Piyungan mengikuti ketentuan Departemen Dalam Negeri RI (Depdagri) namun untuk kedalaman disesuaikan karena lahan di Piyungan berupa tanah gamping yang keras sehingga sulit untuk digali. Sedangkan ukuran peti mati (peti mati dibuatkan oleh UGM dengan bahan baku kayu jati yang didatangkan dari Wonosari) lebih pendek dari ukuran peti mati pada umumnya.

Terdapat 14 tim (satu tim terdiri dari enam orang) yang bertugas menggali makam dan mengambil jenazah. Kegiatan penggalian dan pengambilan jenazah dilakukan oleh tim yang berbeda. Tim tersebut berasal dari para group pemakaman yang sebagian besar berdomisili di Sagan.

BACA JUGA: Y2Mate, Download Lagu MP3 dari YouTube, Gratis dan Mudah

Sempat terjadi negosiasi tarif yang alot antara pihak UGM dan pekerja penggalian. Sebagai tindakan pencegahan sempat dipertimbangkan untuk menggunakan tenaga kerja dari Bantul yang sebelumnya pernah memindahkan makam Jawa. Akan tetapi pada akhirnya tenaga “lokal” tetap digunakan.

Mengingat adanya kemungkinan makam yang masih ‘basah’ (jenazah masih berdaging) dan kemungkinan kontaminasi penyakit, sempat dipertimbangkan untuk mempergunakan jasa Pasukan Katak yang biasa bertugas sebagai pasukan penyelamat. Namun usul tersebut tidak jadi dilakukan.

BACA JUGA: Humor Gus Dur: Marbot Hampir Dipukuli karena Adzan Subuh Jam 9 Pagi, Soalnya Adzan Jam 5 Masjid Sepi

Seluruh pengerjaan pemindahan makam dilakukan secara manual. Sempat terlontar ide untuk dilakukan menggunakan backhoe, akan tetapi mengingat kemungkinan banyaknya masalah dalam proses administrasi pencatatan jenazah ide tersebut urung dilaksanakan.

Proses pengangkutan jenazah ke Piyungan menggunakan truk dengan dua tingkat dan kapasitas angkut sekali jalan sebanyak 25 peti. Dengan kapasitas tersebut. proses pemindahan memakan waktu sekitar dua bulan.

BACA JUGA: Gara-Gara Salah Masuk Masjid, Pak AR Jadi Imam Sholat Tarawih Ratusan Warga NU

Walaupun persoalan lokasi pemindahan makam terselesaikan, persoalan dana tetap menjadi ganjalan karena pemindahan satu makam diperkirakan membutuhkan biaya lima juta rupiah. Pada Mei 1997 Prof. Sukanto menyelenggarakan upacara peletakan batu pertama pembangunan Masjid Kampus secara formalitas dan simbolis.

Posisi batu pertama tersebut sekarang terletak di sebelah Utara bangunan masjid. Upacara tersebut dihadiri oleh sivitas akademika dan beberapa undangan termasuk Probosutedjo yang dalam kesempatan itu memberikan sumbangan sebesar Rp 200 juta. Dengan uang ini pemindahan makam dapat terselesaikan dan sisanya sebesar Rp 60 juta dipergunakan dana awal pembangunan masjid.

BACA JUGA: Madinah Geger, Muncul Pria Berwajah dengan Usapan Malaikat di Raudah Masjid Nabawi

Di akhir pemindahan, ditemukan dua buah makam yang berada di bawah pohon kamboja di luar pagar kompleks makam. Dari hasil penelusuran Informasi, diperoleh keterangan bahwa makam tersebut merupakan makam Kiai Mbulak dan Nyai Sumur, dua tokoh yang oleh masyarakat sekitar dianggap sebagai leluhur lokasi Bulaksumur saat ini.

Ketika mencari informasi lebih jauh lagi tidak ditemukan siapa ahli waris dari kedua makam tersebut. Setelah dilakukan penggalian ternyata tidak diketemukan kerangka atau apa pun di dalam makam jawa. Akhirnya tanah yang ada di tempat tersebut dimasukan ke dalam peti dan dipindah ke makam Kuncen.

BACA JUGA: Misteri Angka 6.666 di Masjid Istiqlal: Ini Sejarah Masjid yang Dibangun di Atas Benteng Belanda

Pohon Kamboja yang menaungi kedua makam Jawa tersebut sempat ditawar untuk dijual dengan harga penawaran sebesar Rp 3 juta. Konon menurut si calon pembeli, pohon kamboja tersebut akan dijadikan semacam jimat. Penawaran tersebut ditolak pihak panitia masjid dan hingga kini pohon kamboja yang sama masih menaungi lahan parkir Masjid Kampus UGM.

Pembangunan masjid tidak ada gambar kerja alias blue print

× Image