Gara-Gara Masjid Kampus UGM, Ganjar Pranowo Jadi Bulan-bulanan di Twitter, Ini Sejarah Masjid UGM
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo sedang menjadi bulan-bulanan warganet menyusul pengakuannya di Twitter terkait kenangan berburu takjil di Masjid Kampus UGM. Ganjar Pranowo diketahui pernah menjadi mahasiswa UGM dan lulus tahun 1995. Sementara Masjid Kampus UGM baru dibangun seteleh Presiden kedua RI, Soeharto lengser atau tahun 1998. Lantas bagaimana sejarahnya?
Dikutip dari buku Masjid Kampus UGM” terbitan Masjid Kampus UGM Yogyakarta (2010), Pada 21 Mei 1998, tepat ketika Presiden Soeharto lengser, panitia pembangunan masjid kampus sedang menentukan arah kiblat dengan melibatkan Departemen Agama RI (Depag) dan tim dari jurusan Teknik Geodesi UGM. Setelah arah kiblat ditentukan, pembangunan Masjid Kampus UGM kemudian dimulai dengan diawali peletakkan batu pertama yang hanya dihadiri beberapa panitia pembangunan masjid.
BACA JUGA: Akun Twitter Ganjar Diserbu Warganet Terkait 'Kenangan di Masjid Kampus UGM'
.
Pembangunan masjid dimulai dengan dana Rp 60 juta. Dana yang didapat sebelumnya sudah untuk memindahkan makam dari tanah tempat masjid dibangun.
Berbagai kegiatan keagamaan Islam di UGM sudah lama diselenggarakan di kampus. Kegiatan keagamaan Islam di kampus UGM juga secara intensif dilakukan pada tahun-tahun yang sama tetapi kegiatannya bukan di masjid melainkan di gedung Gelanggang Mahasiswa, Bulaksumur. Kegiatan keagamaan Islam yang dipusatkan di Gelanggang Mahasiswa makin lama makin tidak memadai karena Gelanggang Mahasiswa juga dipergunakan untuk kegiatan mahasiswa yang lain.
BACA JUGA: Ciri-Ciri Orang yang Mendapatkan Malam Lailatul Qadar
Prof. Koesnadi Hardjasumantri yang menjabat Rektor UGM mempunyai ide untuk membangun Masjid Kampus. Dan gagasan ini bisa terlaksana pada saat klimaknya gerakan reformasi yang UGM menjadi salah satu inisiator dan pusat dari gerakan.
Jatuh Bangun Pembangunan
Pembangunan Masjid Kampus UGM diawali dengan pencarian lokasi yang tepat. Bahkan untuk mencari lokasi yang tepat sampai dibentuk panitia khusus yang berisi Prof. Koesnadi Hardjasoemantri (Rektor UGM waktu itu) bersama dosen muda Syaukat Ali.
Dalam pencarian pertama ditemukan lokasi di sebelah Utara Fakultas Teknik. Namun saat itu di lahan tersebut tengah dibangun sebuah masjid baru (saat ini telah menjadi Masjid Siswa Graha), sehingga diputuskan untuk kembali mencari lokasi lain.
BACA JUGA: Hartini, Janda Anak Lima yang Bikin Soekarno Jatuh Cinta
Pencarian kedua mendapatkan lokasi komplek makam Tionghoa yang ada di sebelah Timur UGM. Status lahan tersebut ternyata masih merupakan tanah Keraton (Sultan Ground). Kondisi lahan tersebut membawa dua konsekuensi, yang pertama terkait dengan penggunaan lahan sebagai makam Tionghoa sehingga harus memindahkan makam. Yang kedua terkait dengan status tanah Keraton sehingga panitia harus mengurus perizinan.
Untuk merealisasikan gagasan pendirian masjid ini, Prof. Koesnadi sebagai Rektor mengumpulkan beberapa mahasiswa arsitek untuk membuat desain masjid. Setelah desain masjid selesai dan perencanaan lebih siap, Prof. Adnan sebagai Rektor berikutnya, mengeluarkan SK kepanitiaan yang menunjuk Prof. Koesnadi Hardjasoemantri sebagai ketua panitia pembangunan masjid kampus.
Walaupun persiapan dan panitia pembangunan masjid sudah matang, realisasinya tidak mudah dimulai terutama karena persoalan yang menyangkut lokasi di pekuburan Tionghoa. Status makam Tionghoa ini sebenarnya sudah tidak “aktif” lagi, dalam arti tidak ada makam baru.
Secara organisasional, makam Tionghoa dikelola oleh organisasi-organisasi pemakaman, di antaranya adalah PUKJ (Perkumpulan Urusan Kematian Jogjakarta) yang saat itu dipimpin oleh Onggo Hartono, seorang pengusaha besar (antara lain pemilik Hotel Saphir). PUKJ keberatan apabila lahan pekuburan ini dipakai untuk keperluan lain karena akan menyangkut masalah pemindahan makam dan masalah ahli waris dari makam-makam tersebut.
Di sisi lain, setelah melalui rembugan dengan Keraton selaku pemilik lahan dari makam Tionghoa, pihak Keraton memutuskan makam tersebut boleh dijadikan lahan masjid tanpa perlu mengganti harga tanahnya. Dengan demikian, panitia menetapkan makam sebagai lokasi bakal Masjid Kampus.
Panitia kemudian menyiapkan lokasi berlanjut pada pencarian lokasi tempat pemindahan makam. Panti Kesmo Kraton sempat mengusulkan dua nama, yaitu Gunung Sempu dan sebuah lokasi di Gamping. Lokasi kedua tersebut bersebelahan dengan makam pejuang Mataram namun tidak masuk dalam daftar orang yang dapat dimakamkan di makam pahlawan. Dalam pengurusan izin dengan pengurus makam mengajukan keberatan dengan alasan hal tersebut akan tidak menghormati pejuang yang dimakamkan di sana.
Usaha pencarian lokasi pemindahan makam terus dilanjutkan. Pada usaha kali ketiga ini, didapatkan lahan di daerah Piyungan. Lokasi ketiga ini cukup tinggi, sehingga sesuai dengan kultur masyarakat mengenai lokasi pemakaman.
Setelah ada persetujuan dari semua pihak dilakukan sosialisasi pada desa yang bersangkutan melalui perkumpulan. Kegiatan masyarakat dilaksanakan dalam bentuk kerja bakti. Dalam sosialisasi tersebut didapatkan semacam perjanjian urusan penggalian di Piyungan diserahkan pada tenaga kerja lokal.
Pemindahan makam pun dimulai...