Home > Sejarah

Kisah Pergundikan Pria Belanda dengan Nyai Pribumi, Lahirlah Anak Blasteran Indo-Eropa

Nasib anak berdarah campuran sangat buruk karena mereka tidak diakui masyarakat Eropa.
Potret keluarga pria Belanda dengan Nyai dan anak-anaknya.
Potret keluarga pria Belanda dengan Nyai dan anak-anaknya.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Saat ini banyak orang Indonesia yang berdarah campuran Indonesia Eropa. Kehadiran anak Indo ini tak lepas dari kehadiran orang-orang Eropa ke Indonesia di era Hindia Belanda. Bagaimana itu bisa terjadi? Begini ceritanya.

Alkisah lantaran menempuh perjalanan jauh dan penuh risiko, pada 1630 pemerintah kolonial di Belanda melarang untuk mengirim para perempuannya ke negara-negara di Asia, termasuk Indonesia. Namun, peraturan itu tidak berlaku bagi pegawai tinggi yang diizinkan membawa istri dan anak-anak mereka.

BACA JUGA: Tobatnya Nyai Dasimah: Berhenti Jadi Simpanan Pejabat karena Takut Hukum Nikah Beda Agama

Akibatnya, Batavia yang saat itu menjadi wilayah tujuan orang-orang Belanda dan Eropa menjadi daerah dengan banyak lelaki dan hanya sedikit wanita berkulit putih. Karena itulah para pria Belanda yang kesepian mengawini para budak untuk dijadikan nyai. Rakyat pribumi yang kebanyakan Muslim bisanya tidak dinikahi secara agama Islam. Mereka hanya dijadikan simpanan untuk menemani kesepian para pria-pria Belanda. Tetapi tidak sedikit pula yang mendapatkan cinta dan kasih sayang layaknya dari seorang suami. Dari hubungan itulah lah lahir keturunan Indo-Belanda.

Di Batavia orang Belanda memakai istilah mestizen untuk menyebut orang berdarah campuran antara Asia dan Eropa. Mereka memakai bahasa Portugis, umumnya bahasa yang dipakai pada abad ke-19 di Batavia.

BACA JUGA: Banyak Pria Jakarta Sakit Raja Singa Gara-Gara Wisata "Petik Mangga"

Sejarawan Belanda, Hans Bonke, menyebutkan, janda-janda kaya dari pegawai Kompeni sangat disukai sebagai istri seorang bujangan yang ambisius. Dengan demikian terjadi hubungan keluarga di antara keluarga-keluarga penting yang mempengaruhi masa depan seseorang.

Tak hanya hubungan majikan dan budak pribumi. Kebijakan pemerintah kolonial di Belanda mengakibatkan banyaknya rumah bordir berdiri di Batavia sejak abad ke-17. Lamanya perjalanan dari Belanda ke Batavia dengan kapal layar berbulan-bulan, para pria tersebut butuh menyalurkan hasrat kelelakiannya.

BACA JUGA: Kisah Gus Dur Terpaksa Tidur di Sofa karena Dikirimi PSK ke Kamar Hotel

Rumah bordir yang banyak berdiri di Batavia jadi tujuan utama. Tempatnya di sekitar Pelabuhan Sunda Kalapa atau sekitar Menara Syahbandara yang sekarang bersebelahan dengan Museum Bahari. Selain itu ada juga di Mangga Besar, Jakarta Barat, terdapat tempat pelacuran yang sama.

Orang Tionghoa menyebut pelacur sebagai suhian. Mungkin inilah awal kata ejekan sowean untuk seseorang dengan kata kasar. Di Mangga Besar, tempat pelacuran disebut macaupo, karena para PSK-nya didatangkan dari Macau.

BACA JUGA: Kisah Pak AR Dituduh Wahabi, Eh Malah Mengajar Yasinan Cara Muhammadiyah

× Image