Sutan Sjahrir Wafat Saat Dicap Sebagai Pengkhianat, Tan Malaka Mati Ditembak
KURUSETRA -- Salam Sedulur... PM Pertama RI, Sutan Sjahrir tutup usia dalam status sebagai tahanan politik Orla pada 9 April 1966 di Zurich, Swiss. Dia diizinkan berobat ke Swiss oleh Presiden Soekarno sejak Mei 1965.
Dalam surat izin itu Sjahrir diperbolehkan berobat ke mana saja selain ke Belanda. Kalau pada masa Orla dia dianggap penghianat, saat jenazahnya tiba di tanah air dia dielu-elukan sedemikian rupa, bahkan diangkat sebagai pahlawan nasional.
BACA JUGA: Sejarah Hari Pramuka, Gerakan Kepanduan yang Dibentuk Raja Yogyakarta
Keberhasilan Sjahrir menduduki jabatan PM tidak serta-merta menghilangkan gejolak yang ada. Menurut Anderson (1988) dalam salah satu tulisannya, ada dua hal yang menjadi fokus permasalahan.
Pertama, kabinet tersebut tidak mewakili semua golongan, bahkan hanya dikuasai oleh pemimpin-pemimpin dari Partai Sosialis dan beberapa orang profesional yang buta politik. Kedua, karena isi program kabinet Sjahrir yang mengutamakan diplomasi daripada perlawanan bersenjata.
BACA JUGA: Cerita Gus Dur Makan Mie Instan di Jepang demi Ngirit Uang Saku
Salah satu tokoh yang keras menentang kebijakan-kebijakan Sjahrir adalah Tan Malaka. Dalam usia yang sangat muda, Tan Malaka berpidato pada sidang kominteren (komunis internasional). Kelompok Tan Malaka yang juga sosialis memiliki kader-kader muda yang berpendirian setelah kemerdekaan diproklamirkan bukan sesuatu yang harus dirundingkan. Kemerdekaan itu adalah seratus persen milik bangsa Indonesia.
Kecenderungan semacam itu makin memuncak setelah terjadinya pertempuran di Surabaya tanggal 10 November 1945. Tan Malaka yang melihat secara langsung peristiwa itu menganggap semangat yang muncul pada waktu itu merupakan tanda untuk dapat menggerakkan massa guna merealisasikan revolusi total.
BACA JUGA: Sempat Dihina, Usmar Ismail Bungkam Kesombongan Pengelola Bioskop Belanda Lewat Film Krisis
Bagi Tan Malaka, pertempuran-pertempuran amat penting dilakukan dengan pengorganisasian serta kepemimpinan yang kuat. Bukan semata-mata dilakukan melalui perundingan-perundingan, tulis Aria Wiratma, anggota Studi Klub Sejarah, UI. Tan Malaka mati tertembak dalam revolusi fisik.