Menteng, Daerah Elite dan Mentereng yang Dulunya Sepi Kini Jadi Kerajaan Banci
Sebelum dibangun Jl Rasuna Said di Kuningan (1970-an), boleh dibilang hampir seluruh korps diplomatik dan kedutaannya berada di Menteng. Pada awal pembangunannya para ”raja minyak” dan ”raja kopi” tempo doeloe tinggal di Menteng. Dari sini mereka dapat sampai ke kantornya di Gambir hanya dalam tempo 10 menit.
Berhadapan dengan Taman Surapati dalam sebuah rumah besar dan pekarangan luas merupakan tempat tinggal dubes AS. Konon sebelumnya merupakan tempat tinggal ”raja minyak” Stanvac.
BACA JUGA: Warga Betawi Lebaran di Jakarta yang Ditinggal Pendatang Pulang Kampung
Pada tahun 1960-an, demo-demo anti-AS lebih sering mendatangi tempat ini ketimbang kedubesnya di Merdeka Selatan. Adolf Heyken yang tinggal di kawasan Menteng sejak akhir 1960-an menuturkan, ”Menteng selain Bulevar Imam Bonjol dan Diponegoro merupakan kawasan permukiman yang tenang. Sangat nyaman duduk di teras di muka rumah pada sore dan malam hari sambil memandangi jalan melalui pagar hidup rendah, membaca koran, atau terima tamu.”
Menteng kala itu, tulis Heyken masih dalam suasana sepi, kecuali bunyi tok-tok penjual bakso, teriakan sate, dan kencring-kencring tukang pijit yang lewat. Menaiki sepeda dari Kwitang ke Menteng pada 1950-an dan 1960-an, saya merasakan betapa teduhnya kawasan ini.
Di kiri-kanan wilayah itu terdapat pepohonan hijau royo-royo tertata rapi, sementara jalan-jalan tampak bersih. Namun, akhir-akhir ini berjalan kaki dengan aman sudah merupakan hal mustahil. Bisa-bisa diserempet sepeda motor yang telah menyerobot jalur pejalan kaki. Belum lagi kemacetan lalu lintas yang hampir merata hingga membuat polusi. Sudah hampir tidak berbekas lagi julukannya sebagai ”kawasan taman kota”.