Jakarta Berubah Jadi Kota Hantu: Dari Sarang Penyakit Hingga Bangunan Kumuh
Sementara, di bawah keteduhan pohon kenari yang berjejer rapi di sepanjang tepian kanal dan terusan, penduduk Batavia lalu lalang di tengah seribu satu kesibukan. ”Saat senja menjelang, rumah-rumah pemandian di sepanjang tepian dinding kanal dan terusan, dipenuhi wanita telanjang dada berendam di air, zonder khawatir buaya pemangsa pria iseng yang datang mengintip,” tulis Thomas B Ataladjar dalam buku Toko Merah. Waktu itu, saat malam terang bulan, terutama malam Ahad, pemuda dan pemudi yang tengah kasmaran menyanyi sambil memetik gitar menjelajahi kanal-kanal dengan perahu.
Bagi penduduk Jabodetabek –Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi masa kini akan sangat sulit membayangkan Kota Batavia yang santai pada akhir abad ke-18 dan juga abad ke-19. Sebagian bangunan dari masa itu sudah diratakan dengan tanah.
BACA JUGA: Kesultanan Demak "Kebumikan" Kerajaan Pajajaran Gara-Gara Bersekutu dengan Portugis
Taman-taman yang indah mengelilingi vila-vila yang memberi warna Eropa pada Kota Batavia telah hilang. Beberapa bagian peninggalan masa lalu itu kini terkesan kumuh. Lalu lintasnya macet, sementara muara Ciliwung yang dulu dibanggakan dan dapat dimasuki kapal-kapal, tampak kotor, kehitaman dan berbau.
Pada zaman itu tidak ada mobil dan tentu saja tidak ada kemacetan, apalagi polusi. Pedagang asongan, jalur cepat dan manusia hidup tanpa dikejar waktu seperti sekarang. Yang ada hanya beberapa sado yang ditarik kuda yang memecahkan kesunyian jalan raya yang tidak diaspal dan diteduhi oleh pohon-pohon rindang yang berdiri kokoh tanpa khawatir akan tumbang seperti sering terjadi akhir-akhir ini.
BACA JUGA: Humor Gus Dur: Sowan ke Istana, Kiai se-Indonesia Malah Bahas Keangkeran Istana Presiden