Mengapa Malam Minggu Identik dengan Waktu Pacaran?
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Malam Minggu nih, waktunya ngapel ke rumah gacoan. Budaya pacaran sudah menyebar luas di dunia, termasuk di Indonesia, dan malam Minggu identik sebagai waktu untuk ngapel ke rumah gacoan.
Ada sejumlah alasan mengapa malam Minggu tanpa ada kesepakatan tertulis disepakati sebagai waktu untuk seorang pria mengunjungi kekasihnya. Budaya ini sebenarnya datang dari dunia Barat.
Sebelum era modern, mulai dari Jazirah Arab, Afrika, sebagian Eropa, serta Asia yang menjadi wilayah kekuasaan Turki Utsmani, hari Jumat ditetapkan sebagai hari libur. Sementara wilayah Amerika, Eropa yang dikuasai Britania Raya, Belanda, Prancis, hingga Jerman, hari libur untuk para pekerja adalah satu pekan sekali, yakni hari Minggu.
BACA JUGA: Humor Gus Dur: Kalau Punya Duit Saya Mending Dagang Rambutan daripada Bikin Bank Islam
Kebiasaan libur di hari Minggu juga terjadi di Indonesia. Setelah VOC bangkrut karena korupsi pada 1799, Indonesia jatuh ke tangan Kerajaan Belanda setahun setelahnya. Karena Belanda menetapkan libur sepekan sekali pada hari Minggu, ketentuan itu juga berlaku di wilayah jajahannya, termasuk Indonesia.
Namun, serikat buruh pabrik kapas yang beragama Yahudi di Amerika Serikat pada 1908 menuntut agar hari libur ditetapkan pada Sabtu dan Minggu. Alasannya, mereka tidak bisa beribadah pada hari Sabat (Sabtu) karena masih harus bekerja.
Henry Ford, pemilik pabrik mobil Ford mulai menutup pabriknya dan meliburkan pegawainya setiap Sabtu dan Minggu 1928, menyusul kuatnya desakan dari para buruh Yahudi. Setahun kemudian, serikat buruh pakaian Amalgamated di Amerika menuntut dan menerima lima hari kerja setiap pekannya. Mereka juga mendapatkan libur pada hari Sabtu dan Minggu.
BACA JUGA: Benarkah Adolf Hitler Jadi Mualaf dan Meninggal di Indonesia?
Namun, pabrik-pabrik lain di Amerika dan Eropa belum mau mengikuti permintaan libur di hari Sabtu. Mereka masih menetapkan libur di hari Minggu, atau menggunakan sistem libur acak di hari-hari lain.
Pada 1938 Pemerintah Amerika Serikat baru mengeluarkan Undang-Undang standar jam kerja buruh berikut liburnya. UU tersebut mengamanatkan maksimal 40 jam kerja setiap minggu, serta menetapkan Sabtu dan Minggu sebagai hari libur bersama yang diterapkan secara nasional.
Setelah itu penetapan hari libur pada Sabtu dan Minggu juga berlaku ke sejumlah bidang, seperti pendidikan. Anak sekolah dan mahasiswa mendapatkan jatah libur dua hari dalam sepekan, Sabtu dan Minggu.
BACA JUGA: Humor Gus Dur: Guus Hiddink Orang NU yang Bawa Korsel ke Semifinal Piala Dunia
Dua hari libur di akhir pekan pun dimanfaatkan para pemuda-pemudi untuk saling melepas rindu setelah lima hari tidak bertemu. Biasanya sang pria akan menyambangi rumah kekasihnya, untuk menghabiskan malam. Mereka akan lupa waktu dan tidak peduli waktu karena esok harinya mereka libur dan tidak bekerja.
Sejarawan almarhum Alwi Shahab punya cerita sendiri tentang pacaran muda-mudi di Jakarta tempo dulu. Abah Alwi cerita, di Jakarta dulu, contohnya pada malam cap go meh (malam ke-15 pada tahun baru Imlek), seorang perjaka yang datang waktu kunjung pacar (wakuncar) ke rumah kekasihnya, harus membawa ikan bandeng. Cilaka dua belas bila calon menantu tidak membawa bandeng ke rumah mertoku (mertua) pada malam itu.
BACA JUGA: Jodoh di Tangan Hansip Gara-Gara Cuci Mata Melihat Gadis Pingitan
Calon mertua akan gusar jika calon mantunya datang ke rumah dengan tangan hampa. ”Apa-apaan tuh lu pu punye pacar. Bikin malu gue ame tetangga, datang kagak bawa bandeng,” begitu kira-kira hardik ibu ke putrinya agar menyampaikan kekesalannya kepada kekasihnya.
Namun, pada 1950-an, pacaran masih sangat tabu dilakukan terang-terangan. Apalagi gelap-gelapan. Dulu ada istilah jodoh di tangan hansip.
Sepasang kekasih yang kedapatan bermesraan dan berbuat asusila apalagi pakai segala ngumpet lewat tengah malam, jika tergerebek hansip, mereka akan dipaksa menikah. Waktu dulu sangat sulit buat perjaka dan gadis untuk saling ketemu. Apalagi memilih jodoh sendiri.
Kebiasaan pacaran dan ngapel sebenarnya bertentangan dengan budaya Indonesia, ajaran Islam. Di mana pada tempo dulu, para perempuan diminta lebih banyak tinggal di rumah. Terutama pada malam Minggu. Sebab, para orang tua saat itu akan risih jika anak gadisnya diajak keluar oleh jejaka yang belum menjadi menantunya.
BACA JUGA:
Humor Gus Dur: Yang Pendendam Itu Unta Bukan Manusia
Humor Gus Dur: Ratusan Orang NU Jadi Muhammadiyah karena Sholat Tarawih
Sujiwo Tejo: Yang Belain Wayang Mungkin Hanya Ingin Gaduh
TONTON VIDEO PILIHAN UNTUK ANDA:
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di KURUSETRA dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.