Home > Sejarah

Habib Ali Kwitang Tolak Perintah Kaisar Jepang Membungkuk kepada Matahari

Habib Ali juga meminta kepada umat Islam untuk menolak perintah tersebut karena perbuatan syirik.
 Habib Ali Alhabsyi, sedang memberikan wejangan (orang Betawi menyebut tesuir ) di tengah ribuan umat di majelis taklimnya di Kwitang. Foto; Alwi Shahab.
Habib Ali Alhabsyi, sedang memberikan wejangan (orang Betawi menyebut tesuir ) di tengah ribuan umat di majelis taklimnya di Kwitang. Foto; Alwi Shahab.

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Habib Ali Alhabsyi, menolak perintah Kaisar Jepang untuk membungkuk menghadap matahari. Penolakan itu dilakukan karena hal tersebut mengandung kemusyrikan.

Habib Ali pun memberikan memberikan wejangan (orang Betawi menyebut tesuir) di tengah ribuan umat di majelis taklimnya di Kwitang, Jakarta Pusat di masa penjajahan Jepang (1942-1945). Penjajah Jepang, dalam upaya menarik dukungan masyarakat Indonesia, telah mendekati para alim ulama yang punya karisma besar di tengah masyarakat. Setiap pagi, saat munculnya matahari, rakyat diharuskan membungkuk menghadap matahari.

BACA JUGA: Mengapa Orang Muhammadiyah tidak Tahlilan?

Tenno Heika, kaisar Jepang kala itu dan kaisar-kaisar sebelumnya oleh rakyatnya dianggap putra dewa matahari. Ketika itu, para ulama dan tokoh pejuang menolak keharusan ini karena dianggap sebagai perbuatan musyrik.

Akhirnya, kebiasaan ini dihentikan. Majelis Taklim Kwitang, didirikan Habib Ali sekitar satu abad lalu dan sampai kini tetap dikunjungi masyarakat se-Jabodetabek. Habib Ali meninggal dunia pada September 1968 dalam usia 102 tahun. Lahir 20 April 1870, di masa pendudukan Jepang, usianya sekitar 70-an tahun. Ia dimakamkan di samping Masjid Al-Riyadh Kwitang yang dibangunnya.

BACA JUGA: Fatwa Gus Dur untuk Dorce yang Bertanya Soal Status Kelaminnya

Sebelumnya, dia membangun sebuah musala kecil. Dia juga membangun madrasah modern Unwanul Falah dengan sistem kelas pada 1918. Untuk pertama kali, ketika itu madrasah ini juga terbuka untuk murid-murid perempuan. Meskipun, tempatnya terpisah dan berseberangan dengan madrasah pria.

Ayahnya Habib Abdurahman Alhabsyi, kelahiran Semarang, dimakamkan di Cikini berdekatan dengan Taman Ismail Marzuki (TIM) yang ketika itu merupakan kediaman misannya, Raden Saleh. Majelis Taklim Kwitang sempat dipimpin cucunya, Habib Abdurahman, menggantikan ayahnya, Habib Muhammad, yang meninggal pada 1993.

BACA JUGA: Humor Gus Dur: Kiai Wahab Tabrakan karena Ngerem Motornya Pakai Kaki

Menurut Habib Abdurahman, Majelis Taklim Kwitang tiap Ahad pagi dihadiri sekitar 20 ribu sampai 30 ribu kaum Muslimin dan Muslimat. Di sekitarnya terdapat ratusan pedagang yang tiap Ahad, mulai pukul 07.00 WIB sampai pukul 10.00 WIB, menggelar dagangan. Akibatnya, daerah sekitar tempat majelis taklim tertutup untuk umum.

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di KURUSETRA dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

× Image