Home > Sejarah

Sapi dan Sawah Hilang dari Kemang, Tersisa Suara Adzan

Di era 1970-an Kemang masih berupa persawahan, perkebunan, dan peternakan sapi.
Di era 1970-an Kemang masih berupa persawahan, perkebunan, dan peternakan sapi. Kini yang tersisa dari warga Betawi pribumi Kemang adalah identitas keislamannya, di mana suara adzan masih terdengar dari toa-toa masjid kemang.
Di era 1970-an Kemang masih berupa persawahan, perkebunan, dan peternakan sapi. Kini yang tersisa dari warga Betawi pribumi Kemang adalah identitas keislamannya, di mana suara adzan masih terdengar dari toa-toa masjid kemang.

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Kemang saat ini merupakan satu dari sekian kawasan elite di Ibu Kota. Padahal, di tahun 60-an Kemang tidak tercantum dalam peta Jakarta.

Kemang tak lebih sebuah desa di Kelurahan Bangka. Tidak heran ketika 1960-an wartawan Antara M Nahar pindah ke Kemang, ia diolok kawan-kawannya. Ngapain lu tinggal di tempat jin buang oplet, begitu bunyi salah satu olok-olok itu.

Menurut Nahar, semua itu benar belaka. Sampai 1970-an, katanya, Kemang masih sangat sepi. Pendatang yang tinggal bisa dihitung dengan jari.

Hampir seluruh penduduknya warga Betawi, yang bercocok tanam, dan beternak sapi. Mereka tinggal di rumah-rumah papan, beratap rumbia. Hanya dalam 10 tahun, situasi Kemang berubah drastis.

Willard A Hanna, mantan direktur USIS (Kantor Penerangan AS) di Indonesia dalam ‘Hikayat Jakarta’ menulis; ”Akhir-akhir ini Kebayoran dikalahkan oleh pembangunan kota-kota satelit baru yang lebih mewah, seperti Kemang dan Pertamina Village di Kuningan.”

Menurut Hanna, Kemang setaraf dengan Forbes Park, kota satelit paling megah di Manila. Apa yang dikemukakan warga AS dua dekade lalu itu memang benar. Tapi Kemang saat ini telah mengalami banyak perubahan. Namun, meski belasan kota satelit baru bermunculan di pinggir Jakarta, Kemang masih tetap bergengsi.

Di sini, para eksekutif perusahaan asing, konglomerat, dan para cukong, badan-badan PBB, dan anggota misi diplomatik, bermukim. Kalau 1960-an, seperti dituturkan Nahar, kita masih mendapati persawahan dan peternakan sapi, kini jangan harap menemukan semua itu di Kemang. Termasuk penduduk aslinya yang warga Betawi.

Tidak keliru jika seorang staf Kelurahan Bangka mengatakan orang Betawi di Kemang tak ubahnya benda di museum barang langka. ”Bapak harus masuk ke pelosok-pelosok gang untuk menemui mereka,” ujar Rachim, anggota staf kelurahan itu.

Sejumlah orang tua yang masih bertahan di Kemang, dengan nada sedih mengatakan; ”Anak-anak dan cucu-cucu saya sudah tidak ada lagi yang tinggal di sini."

Hajjah Nurhayah, generasi tua Betawi Kemang lainnya, mengatakan lebih menyukai daerahnya ketika masih ijo royo-royo, sekalipun ketika itu delman jarang masuk ke Kemang. ”Kalo dulu aye ke Pasar Minggu musti jalan kaki dulu ke Manggabesar. Dari sini baru naek delman ke Pasar Minggu,” Nurhayah mengenang.

Kemang adalah si eksklusif unik. Di sini, warga Betawi makin terpencil karena kehadiran warga asing dan orang berduit. Mereka tinggal di lorong-lorong kecil, di belakang rumah besar dan mewah. Semakin mahal harga tanah membuat jumlah mereka kian menipis.

Mereka menjual tanahnya dan pindah dari kampung kelahirannya. Sebagian besar dari mereka pindah ke Ciganjur, Jagakarsa, Srengseng Sawah, Cileduk, bahkan ada yang ke Bogor.

Sejak masyarakat asing hadir di kawasan yang luasnya 330 hektar, bermunculan pula galeri seni rupa, toko benda antik, kafe, restoran cepat hidang, restoran tradisional dan Barat. Di Kemang, kita akan mudah mendapati rumah makan yang menyajikan makanan Cina, Jepang, atau masakan Italia serta belasan rumah makan Barat lainnya.

Banyak di antara restoran ini yang kemudian berkembang menjadi pub, kafe, klab malam, panti pijat, dan berbagai hiburan lainnya. Di tempat ini para turis lokal dan mancanegara berdatangan, berpasang-pasangan, dan berkencan sampai menjelang subuh.

Hj Nurhayah, nenek belasan cucu, tidak pernah membayangkan daerah kelahirannya akan berkembang demikian rupa. ”Padahal ketika aye kecil, Kemang merupakan daerah udik, yang ketika itu disebut Betawi pinggiran,” kata Nurhayah.

”Kemang hanya dikenal sebagai penghasil buah-buahan dan peternakan sapi.”

Rachim juga belum lupa dengan kebiasaan masyarakat Kemang. Setiap pagi dan sore ratusan orang Kemang bersepeda mengantar susu yang dimasukkan ke botol-botol dan disandarkan di stang dan boncengan sepeda mereka.

Sekarang, jangan harap menemukan pemandangan seperti itu. Bukan hanya kebun-kebun menjadi langka tergusur perumahan, peternakan yang dulu merupakan penghasilan rakyat juga ikut sirna. Sudah tidak terdengar lagi sapi-sapi yang melenguh di pagi hari.

Di tengah-tengah gemerlapnya Kemang dengan berbagai tempat hiburan, yang tersisa bagi warga Betawi hanya identitas keagamaan mereka. Adzan subuh masih bergema dari masjid-masjid, meski di sekeliling mereka muda-mudi teler di kafe-kafe, lorong-lorong.

Azan Subuh menggerakkan warga Kemang berbondong-bondong ke masjid, tanpa peduli dengan kehidupan sekelilingnya yang serba wah. Mereka tak pernah berubah.

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di KURUSETRA dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

× Image