Home > Sejarah

Muhammadiyah dan Kiai Ahmad Dahlan tak Alergi Budaya Serta Pertunjukan Wayang

Kiai Dahlan lebih suka memakai busana Jawa lengkap dengan aksesoris seperti keris, beskap, blangkon, dan kain batik.
Kiai Ahmad Dahlan selalu ikut dalam festival kebudayaan milik Kesultanan seperti Gerebeg Besar, Gerebeg Pasa, Gerebeg Mulud, dan Gerebeg Sultan. Foto: Republika/ Daan Yahya.
Kiai Ahmad Dahlan selalu ikut dalam festival kebudayaan milik Kesultanan seperti Gerebeg Besar, Gerebeg Pasa, Gerebeg Mulud, dan Gerebeg Sultan. Foto: Republika/ Daan Yahya.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang membawa misi dakwah pembaharuan ternyata tidak menjauhi budaya. Sikap akomodatif Muhammadiyah terhadap kebudayaan ditampilkan pendirinya, KH Ahmad Dahlan.

Media Zainul Bahri dalam Perjumpaan Islam Ideologis & Islam Kultural: Sejarah Kritis (2022) menulis Kiai Ahmad Dahlan yang memiliki jabatan sebagai Abdi Dalem Kesultanan Yogyakarta selalu ikut dalam festival kebudayaan milik Kesultanan seperti Gerebeg Besar, Gerebeg Pasa, Gerebeg Mulud, dan Gerebeg Sultan. Bahkan catatnya, Kiai Dahlan menganggap pagelaran itu sebagai salah satu media efektif untuk mendakwahkan Islam.

Selain itu, pagelaran Wayang Kulit yang isinya sangat sinkretik pernah digelar pada rangkaian Kongres Muhammadiyah tahun 1925 dan memperoleh apresiasi meriah, seperti dicatat Ahmad Najib Burhani dalam Muhammadiyah Jawa (2010).

BACA JUGA: Ketua Muhammadiyah Musnahkan Wayang karena Gambarkan Nabi dan Malaikat

Tak alergi terhadap budaya juga diaplikasikan Kiai Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah lewat pakaian. Alih-alih menggunakan busana Barat atau Arab, Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo tahun 1929 meminta setiap delegasi menggunakan busana daerah mereka.

Kiai Dahlan dan banyak anggota Muhammadiyah, tulis Najib, bahkan lebih suka memakai busana Jawa lengkap dengan aksesoris seperti keris, beskap, blangkon, dan kain batik.

Memang Muhammadiyah tidak alergi terhadap kebudayaan dan produk budaya seperti wayang. Bahkan, melalui Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh tahun 1995, Majelis Tarjih Muhammadiyah secara tegas menghukumi kebudayaan dan kesenian sebagai mubah (boleh) selama tidak mengarah dan mengakibatkan fasad (kerusakan), dharar (bahaya), ‘isyyan (kedurhakaan) dan ba’id ‘anillah (terjauhkan dari Allah).

BACA JUGA: Humor Gus Dur: Ratusan Orang NU Jadi Muhammadiyah karena Sholat Tarawih

Karena itu, pengembangan berbagai kesenian dan kebudayaan diperbolehkan sesuai syarat di atas. Apalagi jika digunakan sebagai sarana pengajaran, ilmu pengetahuan dan kepentingan sejarah.

Berbeda dengan kelompok revivalis yang mengutamakan simbol dan identitas luaran daripada substansi, Muhammadiyah justru lebih mengutamakan substansi dibandingkan simbol. Dalam hal ini, Ahmad Syafii Ma’arif seringkali mengutip istilah dari Bung Hatta berupa Filosofi Garam vs Filosofi Gincu.

"Dengan filosofi garam, dakwah kultural akan mampu memberi corak dan warna yang substansial. Sedangkan filosofi gincu belum tentu Islami secara substansi meski tampilan luarnya seakan-akan Islam," jelas Mujamil Qomar dalam Moderasi Islam Indonesia (2021).

VIDEO PILIHAN:

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita sejarah, humor, hingga sejarah dari KURUSETRA. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di KURUSETRA dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

× Image