Home > Sejarah

Islam Abangan: Menyukai Wayang Tapi tak Menduakan Tuhan

Umat Islam Indonesia sejak dulu terbelah jadi Islam Abangan dan Islam Mutihan.
Indonesia sejak dulu dikotak-kotakan menjadi dua kubu, Islam Abangan dan Islam Mutihan.
Indonesia sejak dulu dikotak-kotakan menjadi dua kubu, Islam Abangan dan Islam Mutihan.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Hampir satu windu terakhir Indonesia, khususnya umat Islam terpolarisasi menjadi dua kubu sejak Pilpres 2014. Terkotak-kotaknya kaum muslimin sejak Pilpres 2014 dan meruncing di Pilgub 2017 membentuk dua kubu yang tak habis-habisnya bertikai, kardun dan cebong. Padahal, baik kardun dan cebong sama-sama umat Islam.

Jika menilik catatan sejarah, pembelahan tersebut bukan baru-baru ini saja terjadi. Di masa Indonesia baru berdiri, umat Islam sebagai pemilik saham terbesar bangsa ini mengalami berbagai upaya adu domba. Hingga muncul istilah Islam Mutihan dan Islam Abangan.

BACA JUGA: Sujiwo Tejo: Yang Belain Wayang Mungkin Hanya Ingin Gaduh

Penulis Clifford Geertz dalam bukunya berjudul The Religion of Java menjelaskan tentang trikotomi santri, abangan, dan priyayi dalam memahami kehidupan orang-orang Islam di Pulau Jawa. Pengotak-kotakan sejak puluhan tahun lalu membuat Umat Islam ditampilkan tidak mampu bersatu, tidak seragam, bahkan saling bertentangan.

Muhammadiyah dihadapkan dengan NU, pembaharu dipertentangkan dengan tradisional, fiqih dibenturkan dengan tasawuf; santri diadu dengan abangan, Islam Jawa dikonfrontasikan dengan Islam Arab/Timur Tengah, hingga saat ini Wahabi/Salafi diadu dengan kaum Nahdiyyin atau ahlussunnah wal jamaah.

Ketua Majelis Ulama pertama, Buya HAMKA gelisah melihat fenoma tersebut. Ia yang juga seorang wartawan/kolomis lewat tulisannya di rubrik Hati ke Hati di Majalah Panji Masyarakat edisi nomor 190 tahun ke-17, 1 Januari 1976/28 Zulhijjah 1395 (halaman 5-6) menuliskan opininya secara lugas. Lewat tulisan berjudul "Mutihan dan Abangan", HAMKA mengulas persoalan perpecahan umat Islam itu dengan solusi tepat.

BACA JUGA: Humor Gus Dur: Ratusan Orang NU Jadi Muhammadiyah karena Sholat Tarawih

Menurut Buya HAMKA, pengotak-ngotakan semacam “mutihan” dan “abangan” adalah cara orang Barat menggugurkan persatuan umat Islam. HAMKA tegas menolak pembelahan tersebut. Buya HAMKA sebagai pribadi atau pun sebagai ketua Majelis Ulama tidak menerima pembagian Mutihan dan Abangan.

"Pembedaan di antara mutihan dan abangan di antara kaum Muslimin itu adalah pembagian yang dibikin-bikin," kata Buya HAMKA di dalam suatu khutbah Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1387, 1 Januari 1968, di hadapan Presiden Soeharto.

Abangan dan Mutihan, menurut HAMKA adalah alat politik pemecah belah yang dibuat penjajah agar umat tidak bersatu. Dan kini, bangsa Indonesia menerimanya.

BACA JUGA: Gus Baha: Sunan Giri Sebut Wayang Haram, Sunan Kudus Bilang Digepengkan Biar Halal

Kelompok mutihan disebut sebagai umat Islam yang taat kepada ajaran agama. Taat sholat, puasa, dan menjalankan syariat Islam. Kelompok santri masuk dalam kategori ini.

Sementara abangan datang dari bahasa Jawa yang artinya ‘merah’. Dalam pengertiannya, abangan adalah orang yang mengakui beragama Islam, bertuhan Allah, dan mengakui Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam adalah Nabi dan Rasul. Namun semuanya terbatas sampai di sana.

Kaum abangan tidak mengerjakan syariat Islam, seperti sholat lima waktu, puasa, haji, dll. Tanda keislaman kaum abangan akan terlihat ketika mengkhitan anak, menikahkan anak menggunakan acara ijab kabul, dan memakai ajaran Islam ketika meninggal dunia.

"Yang anehnya ialah bahwa yang dipotong-potong dan dikeping-keping dijadikan sebagian jadi abangan dan sebagian jadi mutihan itu menerima saja pula mereka dibagi-bagikan. Kalau kiranya golongan yang disebut abangan itu senang dikatakan demikian, tidaklah selayaknya yang disebut mutihan itu mengakui pula dirinya memang mutihan dan bangga dengan itu," tulis Buya HAMKA.

BACA JUGA: Cak Nun: Wayang Itu Syirik Kalau Jadi Penyebab Menduakan Tuhan

Pembagian tersebut membuat jarak antara mutihan dan abangan semakin jauh. Kaum mutihan asyik dengan ibadahnya, sementara kaum abangan kian jauh dari Islam karena tidak ada yang mendakwahi.

Tak hanya itu, pembelahan antara mutihan dan abangan juga mempengaruhi kebiasaan dan kebudayaan. Abangan menyukai wayang dan tari serimpi. Mutihan mencintai musik gambus.

Jadi, ketika ada santri menonton wayang maka dikatakan nyeleweng oleh golongannya. Sementara ketika abangan mendengarkan musik gambus dicap sebagai santri.

Padahal, kalau membaca sejarah, Wali Songo menyebarkan agama Islam lewat jalur kesenian dan budaya, seperti kesenian wayang. Sejumlah wali bahkan membuat berbagai jenis wayang, menciptakan beberapa macam “sinom” atau lagu kejawen yang indah dan mendalam.

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita sejarah, humor, hingga sejarah dari KURUSETRA. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di KURUSETRA dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

× Image