Ditanya Kondektur Abonemen, Pria Arab Jawab Bukan, Ane Abu Bakar
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Ada-ada saja kelakuan para penumpang trem di Jakarta. Ketika masih era Belanda, ada satu kejadian lucu di atas trem, yakni perbicangan seorang kondektur dengan penumpangnya yang seorang keturunan Arab.
Batavia saat itu selain dihuni bangsa pribumi dan Eropa yang menjajah, ada juga etnis Tionghoa dan keturunan Arab. Trem listrik sendiri memiliki lima jalur, dan semua jalur diadakan abonemen (langganan) bulanan.
Seorang pria Arab ketika ditanya kondektur apakah ia abonemen, lantas menjawab: ”Bukan ane Abubakar".
Saat trem melewati Alaydruslaan (Jl Alaydrus), kondektor berteriak: ”Alaydrus turun!”
Namun tiba-tiba seorang penumpang keturunan Arab langsung menjawab: ”Ane turun di Kota.”
BACA JUGA: Gus Baha: Sunan Giri Sebut Wayang Haram, Sunan Kudus Bilang Digepengkan Biar Halal
Trem mulai beroperasi pukul 05.00 sampai 7 petang. Sesudah itu tidak dibenarkan beroperasi dengan pertimbangan untuk memberikan kesempatan kepada beberapa keramaian di Kota Lama. Di kawasan Kota waktu itu hampir tiap malam ada keramaian yang dikunjungi orang dari berbagai penjuru Jakarta.
Eksplorasi trem listrik meliputi lima jalur. Jalur I (orang menyebutnya line) Menteng – Kramat – Senen – Vrijmetselaarweg (jl Budi Utomo) – Gunung Sahari – Sawah Besar – Jakarta Kota pulang pergi. Jalur 2: Menteng – Willemslaan (Jl Perwira) – Harmoni pulang pergi. Jalur 3 Menteng – Willemslaan – Vrijmetselaarweg pp. Jalur 4 : Menteng – Tanah Abang – Harmoni pp. Jalur 5 Vrijmetselaarweg – Willemslaan – Harmoni pp.
Keliling kota naik trem sangat menyenangkan. Kita tidak harus jejal-jejalan seperti di bus kota atau KRL sekarang. Penumpangnya ketika itu juga sangat disiplin untuk membeli karcis.
BACA JUGA: Batavia Bau Busuk, Jenazah Orang-Orang Belanda Penuhi Kali Krukut
Setelah merdeka banyak yang tidak mau lagi membeli karcis. Alasannya: ”Kok sudah merdeka masih harus membeli karcis.”
Menurut buku ‘Sekitar 200 tahun sejarah Jakarta (1750-1945)’ yang diterbitkan Dinas Museum dan Pemugaran DKI, trem uap waktu itu diusahakan oleh Nederlandsch-Indie Tramweg Maatchappij. Trem listrik diusahakan oleh Bataviasche Electrische Tramweg Maatchappij.
Trem uap menjelujur dari Kota sampai Meester Cornelis (Jatinegara). Dan terbagi menjadi dua jalur, yakni Kota – Kramat dan Kramat – Meester Cornelis. Ongkosnya 20 sen di klas I dan 10 sen klas II.
BACA JUGA: Sujiwo Tejo: Yang Belain Wayang Mungkin Hanya Ingin Gaduh
Trem tersebut mulai dari Kasteelplein (gedung Fatahillah di kota lama) – lalu ke Nieuwpoorstraat (Jl Pintu Besar), sepanjang Molenvliet West (Jl Gajah Mada), Rijswijk (Jl Veteran) – Postweg (Jl Pos di Pasar Baru), Waterlooplein (Lapangan Banteng), Senen – Kramat – terus ke Meester Cornelis dan terakhir di stasion yang terletak di ujung Kerkstraat (Jl Gereja).
Trem jalannya tidak terlalu kencang antara 20 – 30 km per jam. Kalau ada ‘lampu merah’ trem berhenti. Tapi, ‘lampu merah’ waktu itu bukan menggunakan lampu otomatis seperti sekarang.
Polisi harus bergantian berjaga di perempatan jalan. Dengan tangannya ia memutar tanda lalu lintas terbuat dari besi, merah dan hijau. Merah berarti berhenti dan hijau baru boleh jalan kembali. Warna kuning sebagai tanda lalu lintas waktu itu belum dikenal. Waktu itu disiplin berlalu lintas masih sangat tinggi.
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita sejarah, humor, hingga sejarah dari KURUSETRA. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di KURUSETRA dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.