Home > Sejarah

Batavia Bau Busuk, Jenazah Orang-Orang Belanda Penuhi Kali Krukut

Wabah penyakit yang meledak pada abad 18 di Batavia, menyebabkan tingkat kematian meledak.
Kali besar pada 1920. Foto: Ilustrasi.
Kali besar pada 1920. Foto: Ilustrasi.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Batavia pada abad ke-18 pernah dijuluki ‘kota maut’. Akibat tingginya angka kematian, kota yang dibangun JP Coen (1619) ini mendapat predikat Graf der Hollanders atawa ‘kuburan orang Belanda.’ Berdasarkan catatan sejumlah sejarawan, kala itu tak seorang pun akan merasa heran bila mendengar teman dengan siapa ia semalam makam bersama akan dikubur keesokan harinya. Di antara penyebab kematian, karena lumpur yang banyak mengendap di kanal-kanal (kali buatan) karena alirannya terhambat menjadi sarang penyakit dan berbau busuk.

Akibat besarnya angka kematian, sebuah rumah sakit di Batavia kala itu dijuluki sebagai ‘rumah maut’. Karena kebanyakan pasien yang dirawat jiwanya tidak tertolong dan berakhir ke pemakaman. Rumah sakit yang dibangun akhir abad ke-17 ini kemudian menjadi gedung De Javashe Bank (kini Bank Indonesia) setelah munculnya bisnis perbankan di akhir abad ke-19. Letaknya di depan stasiun kereta api Beos (Jakarta Kota).

Tingginya angka kematian ini berdampak pula pada penuhnya tempat pemakaman. Kala itu pemakaman umum berada di sekitar Niuwe Hollandse Kerk yang kini jadi gedung Museum Wayang, di sebelah kiri gedung Museum Sejarah Jakarta di Jl Falatehan 1, Jakarta Kota.

Akibat penuhnya pekuburan yang di pusat kota Batavia ini sejak 1795 dialihkan ke Kebon Jahe Kober, Jakarta Pusat. Kuburan orang Belande, demikian warga Betawi menyebutnya, dulu bernama Kerkhoflaan, kira-kira Gang Kubur kalau diistilahkan sekarang. Kuburan seluas 5,5 hektar yang berada jauh dari pusat kota ini telah ditutup sejak 1975, dan kini jadi Museum Prasasti.

Memasuki Museum Prasasti yang telah ditata jadi sebuah taman dengan pepohonan rindang membuat kita diingatkan kembali pada suasana tempo doeloe. Ditambah lagi dengan segala ungkapan yang tertulis di batu nisan yang jumlahnya ribuan buah.

Kalau sekarang biasanya orang menghadiri pemakaman dengan kendaraan bermotor, tidak demikian halnya pada era meriam sundut. Waktu itu, kendaraan bermotor belum nongol sebiji pun. Sementara untuk naik kereta kuda, waktu itu belum dibangun jalan raya dari Pasar Ikan (Kota) ke Tanah Abang. Maka fasilitas upacara di pemakaman Kebon Jahe Kober yang terletak jauh di luar kota, sejak dibuka menggunakan alat transportasi berupa perahu dan kereta jenazah.

Pihak rumah sakit (bekas gedung BI Jakarta Kota) hanya menyediakan perahu jenazah bagi para pasien untuk dimakamkan di pemakaman Kebon Jahe Kober, Tanah Abang. Sementara keluarga yang berduka menyewa atau naik perahu kepunyaannya, mengiringi jenazah melalui Kali Krukut, yang dulu lebar, dalam, dan airnya jernih. Dalam sebuah laporan kuno disebutkan, pada 1825 kereta-kereta jenazah mengangkat mayat-mayat dari rumah sakit ke pemakaman Kober dua kali sehari.

Sesampainya di ujung Jl Tanah Abang I (sekarang kira-kira belakang Deppen) setelah melewati kali Molenvliet (Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk), jenazah disambut kereta pengangkut jenazah. Dulu di kali ini ada tempat untuk berlabuhnya perahu-perahu.

Dengan kereta jenazah berwarna hitam, ditarik 2-4 ekor kuda, jenazah dibawa ke pemakaman. Sedangkan, para pengiring berjalan kaki di belakangnya.

Jumlah kuda penarik kereta bisa menunjukkan status sosial keluarga yang meninggal. Makin tinggi jabatannya, makin banyak kuda dan kereta yang dikerahkan.

Masih dalam suasana prosesi pemakaman, sesampainya di ruang balairung yang terletak di halaman depan makam, jenazah disemayamkan. Selain perahu dan kereta jenazah, di halaman belakang terdapat sebuah lonceng perunggu bertiang besi dengan ketinggian sekitar empat meter.

Lonceng pertama yang dibunyikan petugas untuk tanda adanya kematian. Bunyi kedua yang dibunyikan terus menerus sebagai pertanda penyambutan datangnya jenazah dari Kali Krukut hingga ke pemakaman. Bunyi lonceng ini dimaksudkan untuk mengingatkan petugas pemakaman untuk mempersiapkan upacara hingga pelaksanaan pemakaman.

Di museum ini pun masih didapati bekas gedung pengawetan mayat. Rupanya, ketika itu sejumlah orang Belanda yang meninggal di Batavia jenazahnya dibawa ke negerinya. Untuk ini, jenazah tersebut perlu diawetkan dulu.

Di pekuburan ini terdapat juga makam asli Olivia Mariamme Raffles, istri Gubernur Jenderal Raffles (1811-1816). Karena istrinya ini pecinta tanaman dan pepohonan, Raffles mendirikan tugu peringatan untuk mengenang istrinya di dekat pintu masuk Kebon Raya Bogor.

Prasasti Pieter Erberveld, seperti aslinya yang dibuat pada April 1722, juga terdapat di musium ini. Prasasti ini mengingatkan saat ia dihukum pancung karena dituduh akan melakukan pemberontakan di Batavia pada malam 1 Januari 1722.

Tempat eksekusi digelar di kediamannya di Jl Jayakarta sekarang ini. Rumah bersejarah ini pada 1970-an diruntuhkan dan dijadikan showroom sebuah perusahaan mobil Jepang. Di atas prasasti terdapat sebuah tengkorak berupa kepala Pieter yang ditancapkan di sebuah tombak.

Sebelum ditutup dan kemudian dijadikan Museum Prasasti, Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa Angkatan 1966 dan pendiri Mapala UI dimakamkan di tempat ini. Dia meninggal di puncak Gunung Semeru Jawa Timur akibat uap beracun pada Desember 1969 dalam usia 27 tahun.

Terdapat pula prasasti 31 prajurit balatentara Jepang yang dibantai tentara Sekutu di Leuwiliang, Bogor, pada 1942 ketika Jepang hendak merebut Indonesia. Tiap dua kali setahun warga Jepang melalui Yayasan Orang Jepang di Jakarta mengadakan acara ritual menurut agama mereka di sini.

× Image