Pertunjukan Wayang Kulit Lengkapi Tradisi Ruwatan
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Ruwatan biasanya diselenggarakan oleh masyarakat Jawa sebagai usaha untuk membebaskan manusia dari aib dan dosa, sekaligus menghindarkan diri agar tidak dimangsa Batara Kala (Dewa Waktu). Menurut mitologi Hindu, Batara Kala adalah putra Batara Guru (Dewa Siwa) yang berwujud raksasa.
Ruwatan, yang artinya kembali ke semula, lazimnya dilaksanakan dengan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwakala lakon yang berkisah tentang Batara Kala. Bukan hanya wayang kulit, juga dalam wayang golek terdapat istilah ngeruwat.
BACA JUGA:
Resep Rahasia Gus Dur yang Bikin Raja Arab Tertawa
Jodoh di Tangan Hansip Gara-Gara Cuci Mata Melihat Gadis Pingitan
Cak Nun: Wayang Itu Syirik Kalau Jadi Penyebab Menduakan Tuhan
Kira-kira menjelang pukul 12 malam, sang dalang akan memberitahukan kepada penonton bahwa Sang Batara Kala, mahluk raksasa penyebar bala, sedikit waktu lagi akan keluar. Karenanya, penonton yang tidak ingin menonton sampai selesai diminta meninggalkan arena pertunjukan. Sebab mahluk raksasa itu akan memakan otak manusia, biasanya di perempatan jalan.
Karena itu, pada masa lalu sering kita jumpai ancak di perempatan jalan, berupa kembang tujuh rupa, air mawar, telur ayam dan lisong. Saya sendiri yang tidak percaya terhadap seruan sang dalang tentang Batara Kala, sengaja pulang pukul satu dinihari. Ternyata tidak memperoleh halangan apa-apa.
Di kota metropolitan Jakarta ini ternyata masih banyak warga yang percaya pada hal-hal yang bersifat tahayul. Kita masih ingat isu-isu tentang Kolor Ijo yang dikabarkan punya hobi memperkosa cewek untuk meningkatkan ilmu hitamnya.
Saat itu, bambu kuning dan daun kelor banyak dicari warga pinggiran Jakarta. Mereka percaya bila bambu kuning dan daun kelor dipasang di depan pintu rumah akan terhindar dari sang Kolor Ijo.