Home > Budaya

Raden Patah Raja Demak & Wali Songo Ajak Rakyat Jawa Nonton Wayang Gratis, Tiket Masuk Baca 2 Kalimat Syahadat

Wayang yang dulunya berbentuk patung dimodifikasi menjadi bentuk pipih agar tidak menyerupai patung.

Pendiri Kerajaan Demak, Raden Patah

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Pernahkah Sedulur memiliki pertanyaan mengapa wayang kulit bermata satu. Ternyata ada alasan sejarah di baliknya, di mana berkat pendiri Kerajaan Demak Raden Patah yang meminta kepada Wali Songo agar wayang diperbolehkan menjadi media dakwah penyebaran agama Islam.

Wayang awalnya menampilkan gambaran utuh seperti manusia. Berkat perintah Raden Patah dan saran Wali Songo, bentuk wayang dimodifikasi menjadi satu dimensi. Hal itu dilakukan karena perintah agama melarang membuat patung sehingga wayang digepengkan.

Baca Juga: Diambang Kepunahan, Hanya Ada 7 Jenis Penyu Tersisa di Dunia, 5 Hidup di Pangandaran

Memang, dalam catatan sejarah identitas politik Kesultanan Demak secara prinsip adalah kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Kerajaan Demak berdiri tanpa banyak keributan dan perebutan kekuasaan.

Legitimasi Kerajaan Demak sebagai penerus kejayaan Kerajaan Majapahit didapat karena sistem politik dan hukum yang dipakai sama dengan Majapahit. Rakyat pun akhirnya memilih tunduk dan beradaptasi dengan kerajaan baru tersebut.

Baca Juga: Menelusuri Keindahan Jalan Majapahit Rasa Eropa di Batavia

Ketika itu penyebaran syiar Islam dipilih melalui jalan kesenian. Raden Patah yang sangat gemar dengan kesenian wayang, meminta saran dan pertimbangan kepada para ulama agar kesenian wayang tetap lestari dan berkembang sesuai ajaran Islam.

Dari diskusi, rapat, dan pertimbangan, Wali Songo mengeluarkan beberapa pendapat agar wayang bisa tetap lestari dengan tetap berada dalam koridor agama Islam. Wayang bisa diteruskan asal diubah sesuai zaman yang berlaku dan bisa dijadikan alat dakwah Islam.

Baca Juga: Bukan Sekadar Logo, Ada Makna Filosofis Mendalam di Gunungan Wayang di Lambang G20

Para ulama juga merekomendasikan bentuk wayang diubah agar tidak lagi berwujud seperti arca-arca yang mirip manusia. Untuk membuang kemusyrikan, cerita-cerita dewa dalam lakon wayang pun harus diubah dan diganti dengan cerita yang bernafaskan keislaman.

Dakwah Islam yang mengandung keimanan, ibadah, akhlak, sopan santun, kesusilaan, dan tauhid perlu masuk dalam lakon pewayangan. Tokoh-tokoh dalam cerita wayang dan kejadian-kejadiannya hanya dijadikan sebagai lambang dan perlu digantikan tafsirannya sesuai ajaran Islam.

Baca Juga: Asal Usul Tradisi Tahlilan dan Yasinan di Malam Jumat, Cara Wali Songo Dakwahkan Islam di Tanah Jawa

Penonton bayar tiket nonton wayang pakai dua kalimat syahadat...

.

TIKET NONTON WAYANG BACA SYAHADAT

Tak hanya itu, para ulama juga meminta pertunjukan wayang mengikuti aturan susila dan jauh dari maksiat. Karenanya, pagelaran wayang digelar di masjid dan rakyat yang mau menonton wajib berwudhu dan membaca syahadat sebagai tiket masuknya.

Unsur kesenian yang menjadi pelengkap wayang, seperti gamelan, tembang-tembang, tokoh-tokoh, dan lakon-lakon lainnya pun diperbolehkan, asalkan tetap bernafaskan Islam. Atas rekomendasi itu, Raden Patah memerintahkan agar ada penyempurnaan dan perubahan bentuk, wujud, cara pertunjukan, dan alat perlengkapan wayang kulit purwa yang merupakan warisan Kerajaan Majapahit.

Baca Juga: Surabaya Saksi Bisu Raden Wijaya Raja Majapahit Bantai Pasukan Mongol

Tujuannya agar wayang tetap berkembang dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Berdasarkan perintah Raden Patah, wayang lalu diubah pipih menjadi dua dimensi.

Wayang digambar miring sehingga tidak lagi menyerupai arca-arca di candi. Kulit sapi atau kerbau menjadi bahan pembuatan wayang yang diperindah dengan memberikan perhiasan warna lalu diberi pegangan.

Baca Juga: Orang Indo-Eropa Hidup Seperti Raja di Batavia, Punya Rumah Besar dan Dilayani Banyak Babu Kaum Pribumi

Raden Patah juga menciptakan kayon (gulungan) yang ditancapkan di tengah panggung kelir dan menciptakan simpingan. Sultan Demak itu juga membuat seperangkat gamelan laras pelog yang dimainkan di hari-hari tertentu di halaman Masjid Agung Demak.

Gamelan itu dikenal dengan nama Gamelan Sekati. Tradisi memainkan gamelan ini masih dilestarikan Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta setiap bulan Maulud dalam perayaan Maulid Kanjeng Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam. Perayaan itu kini dikenal sebagai Sekaten (dari kata Syahadatain).

.

BACA TULISAN MENARIK LAINNYA:
>
Banyak Pria Jakarta Sakit Raja Singa Gara-Gara Wisata "Petik Mangga"
> Humor Gus Dur: Orang Jepang Sombong Mati Kutu di Depan Sopir Taksi
> Rektor ITK Singgung Manusia Gurun, Teringat Humor Gus Dur Tentang Unta Hewan Gurun yang Pendendam
> Kiai Tampar Anggota Banser: Kiai Gak Dijaga Malah Gereja yang Dijaga!
> Kata Siapa Muhammadiyah tidak Punya Habib, KH Ahmad Dahlan Itu Keturunan Rasulullah
> Pak AR Salah Masuk Masjid, Diundang Ceramah Muhammadiyah Malah Jadi Imam Tarawih di Masjid NU
> Humor Gus Dur: Yang Bilang NU dan Muhammadiyah Berjauhan Hanya Cari Perkara, Yang Dipelajari Sama
> Humor Cak Nun: Soal Rokok Muhammadiyah Terbelah Jadi Dua Mahzab

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

× Image