28 Oktober 1928, Saat Para Pemuda Bersatu untuk Kemerdekaan Indonesia
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Memasuki sebuah gedung di Jl Kramat Raya 106, Kelurahan Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat kita dapat menyelami kembali peristiwa bersejarah pada 28 Oktober 1928. Saat para pemuda dari berbagai Nusantara mengikrarkan Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa.
Di gedung yang kini dilestarikan menjadi Museum Sumpah Pemuda itu, dapat ditemui berbagai koleksi yang berkaitan dengan peristiwa itu, pada Ahad malam 28 Oktober 1928. Di antaranya koleksi biola milik komponis Wage Rudolf Soepratman, yang dipakai untuk pertama kalinya memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia sesaat sebelum Sumpah Pemuda dibacakan.
Baca Juga: Sakralnya Lagu Indonesia Raya Karya WR Soepratman
Gesekan biolanya kadang diselingi suaranya yang agak parau, mendapatkan sambutan antusias dari para pemuda yang berjumlah sekitar 300 orang, rata-rata berusia 20-an tahun. Pemuda Soepratman, yang berbadan kurus menerima ucapan selamat dan pelukan hadirin dengan mata berkaca-kaca.
Tampilnya generasi muda dalam pergerakan nasional saat itu merupakan salah satu dampak diberlakukannya politik etis oleh pemerintah kolonial pada awal abad ke-20. Politik ini terpaksa dilakukan Belanda karena menghadapi kecaman-kecaman keras, akibat kekejaman yang luar biasa terhadap tanah jajahannya. Termasuk sistem tanam paksa yang mengakibatkan jutaan rakyat Indonesia menderita dan ribuan orang meninggal dunia.
Baca Juga: Humor Gus Dur: Hantu Istana Merdeka Sering Mengganggu, Eh Malah Diajak Gus Dur Ikut Pengajian
Dengan sistem etis Belanda memberikan kesempatan kepada pemuda Indonesia untuk menempuh pendidikan. Akibatnya banyak pemuda dari berbagai daerah yang berdatangan di Batavia untuk menempuh pendidikan.
Waktu itu, di luar Pulau Jawa, sekolah seperti MULO dapat dihitung dengan jari. Padahal MULO hanya setingkat SMP. Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara adalah contoh daerah yang hanya mempunyai satu MULO di Makasar.
Baca Juga: Baru Merdeka, Indonesia Dihadapi Sederet Masalah: Kemiskinan, Kelaparan, Sampai Perebutan Kekuasaan
Di Batavia, para pemuda pelajar ini merasa senasib dan seperjuangan. Kemudian mereka mendirikan organisasi-organisasi kepemudaan berdasarkan kedaerahan.
Maka lahirlah Jong (baca young = pemuda) Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Bataks Bond, Jong Timoreesch Bond, Sekar Rukun (organisasi pemuda pelajar dari Sunda), dan Pemuda Kaum Betawi. Kedua himpunan yang terakhir ini menolak menggunakan istilah ‘jong’ karena dianggap berbau kolonial.
Baca Juga: Tangan Penuh Darah JP Coen Usai Bantai Penduduk Banda dan Jadikan Mereka Budak di Batavia
Dua tahun menjelang Sumpah Pemuda juga berdiri Jong Islamieten Bond.
Partai Sarekat Islam Berdiri
Dua tahun menjelang Sumpah Pemuda juga berdiri Jong Islamieten Bond. Organisasi pemuda bernapaskan Islam ini, lebih didorong oleh kegiatan partai politik, yakni Partai Sarekat Islam (PSI).
Para pemuda ini kemudian mengadakan Kongres Pemuda yang sekaligus bertujuan untuk melahirkan berdirinya organisasi-organisasi pemuda dalam satu atap. Kongres diadakan 30 April – 2 Mei 1926.
Seluruh pengantarnya Bahasa Belanda. Kongres ini tidak menghasilkan keputusan secara bulat. Soal bahasa, pemilihan tiga bahasa (Jawa, Belanda, Melayu) sebagai bahasa nasional masih diperdebatkan. Mengenai bahasa Jawa, yang mayoritas digunakan masyarakat atau pemuda Jawa dalam pergaulan, sulit diterima untuk dijadikan bahasa persatuan atau nasional. Bahasa Belanda dianggap bahasa kolonial.
Bahasa Melayu, sekalipun memiliki pendukung yang banyak, tapi dalam Kongres Pemuda 1926 belum bisa diterima sebagai bahasa persatuan dan nasional. Kongres Pemuda ke-2 sendiri berlangsung di tiga gedung mengingat para pemuda kediaman kost-nya berpencar-pencar di Batavia.
Rapat pertama diadakan Sabtu (27/8/1928) di gedung Katholieke Jongenlingen Bond di Waterlooplein (kini Jl Lapangan Banteng). Rapat dimulai pukul 19.00 – 23.30. Rapat kedua (Minggu) dimulai pukul 08.00 – 12.00 di gedung Oost Java Bioscoop di Koningsplein Noord (Medan Merdeka Utara) depan MBAD.
Rapat ketiga Minggu, 28 Oktober 1928, pukul 17.30 – 23.30 WIB di gedung Indonesisshe Clubgebouw Jl Kramat 106, yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Rapat ini rupanya tidak berjalan mulus, karena mendapat gangguan berupa larangan dan ancaman penghentian pertemuan dari Adjunct Hoofdcommisaris van Politie van der Vlugt.
Baca Juga: Demi Jaga Budaya Indonesia, Orde Lama Larang Pemuda Mainkan Musik Ngak-Ngik-Ngok
Pelarangan terjadi saat pemakaian kata-kata Indonesia Merdeka. Mendapat ancaman itu, ketua kongres, Soegodo Djojopoespito tetap tenang.
Dengan senyum simpul dan telunjuk ke atas, berkata kepada peserta : “Verboden …, tetapi kita tahu sama tahu.” Hadirin menyambutnya dengan riuh, riang, dan kadang dengan nada memperolok petugas polisi rahasia Belanda (PID) itu yang ada di lokasi. Gedung Kramat 106 ini sejak 1928 memang ditempati sebagai kost oleh para pelajar.
Baca Juga: Presiden Jokowi Jadi Korban Deepfake Pakai AI, Jadi Jago Ngomong Bahasa China
Pada awalnya ia sebuah rumah milik Sie Kong Liong. Tahun 1934 sudah tidak ada pelajar lagi yang tinggal di sini.
Oleh pemiliknya disewakan pada Pang Tjeng Yam yang menggunakan sebagai rumah tinggal. Pada 1937 disewa Loh Jing Tjoe yang menggunakannya sebagai toko bunga. Gedung yang pernah dijadikan asrama Bea Cukai ini, juga pernah menjadi Hotel Hersia.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.