Home > Sejarah

Tak Punya Kewarganegaraan, Banyak Warga Yahudi Numpang Hidup dan Cari Makan di Indonesia Sejak Abad 19, Ngaku Sebagai Orang Arab

Sejak masa kolonial Belanda atau sekitar abad 19, banyak umat Yahudi banyak berdiam di Indonesia, khususnya di Jakarta.

Umat Yahudi di Tembok Ratapan. Umat Yahudi ternyata pernah mencari makan dan menumpang hidup di Indonesia pada era Kolonial Hindia Belanda.

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA -- Salam Sedulur.. PBB saat ini tidak berdaya menyaksikan kekejamaan Zionis Israel yang di luar perikemanusiaan membantai penduduk di Gaza, Palestina. Presiden pertama RI, Soekarno saat membawa Indonesia keluar dari PBB menyatakan organisasi dunia tersebut nyata-nyata menguntungkan Israel dan merugikan negara-negara Arab.

Sejak masa kolonial Belanda, Yahudi banyak berdiam di Indonesia, khususnya di Jakarta. Pada abad ke-19 dan 20 serta menjelang Belanda hengkang dari Indonesia, ada sejumlah Yahudi yang membuka toko-toko di Noordwijk (kini Jl Juanda) dan Risjwijk (Jl Veteran) — dua kawasan etlie di Batavia kala itu — seperti Olislaeger, Goldenberg, Jacobson van den Berg, Ezekiel & Sons dan Goodwordh Company.

Mereka hanya sejumlah kecil dari pengusaha Yahudi yang pernah meraih sukses. Mereka adalah pedagang-pedagang tangguh yang menjual berlian, emas dan intan, perak, jam tangan, kaca mata dan berbagai komoditas lainnya.

Baca Juga: Kepada Presiden Israel Shimon Perez, Gus Dur Sebut Topi Yahudi adalah BH yang Dibagi Dua

Sejumlah manula yang saya wawancarai terkait keberadaan Yahudi di Indonesia mengungkapkan, pada medio 1930-an dan 1940-an jumlah warga Yahudi di Jakarta banyak. Jumlahnya bisa mencapai ratusan orang. Karena mereka pandai berbahasa Arab, mereka sering dikira keturunan Arab.

Salah satu nara sumber, Abdullah Alatas yang saat berbincang dengan saya pada 2006 sudah berusia 75 tahun. Dia mengungkapkan keturunan Yahudi di Indonesia kala itu banyak yang datang dari negara Arab.

Saat itu Israel belum terbentuk setelah menjajah dan merampas tanah rakyat Palestina. Keluarga Musri dan Meyer yang datang dari Irak contoh yang warga Yahudi di Indonesia.

Baca Juga: Piala Dunia U-20 Batal Gara-Gara Israel, Teringat Humor Gus Dur Soal Topi Yahudi Itu BH Dibagi Dua

Di masa kolonial, warga Yahudi ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan. Termasuk gubernur jenderal AWL Tjandra van Starkemborgh Stachouwer (1936-1942).

Kaum Yahudi di Indonesia memiliki persatuan yang kuat. Setiap Sabat (hari suci umat Yahudi), mereka berkumpul bersama di Mangga Besar, yang kala itu merupakan tempat pertemuannya.

Menurut majalah Sabili, dulu Surabaya merupakan kota yang menjadi basis komunitas Yahudi, lengkap dengan sinagognya yang hingga kini masih berdiri. Mereka umumnya memakai paspor Belanda dan mengaku warga negara kincir angin. Sedangkan Abdullah Alatas mengalami saat-saat hari Sabat dimana warga Yahudi sambil bernyanyi membaca kitab Talmut dan Zabur, dua kitab suci mereka.

Baca Juga: Ridwan Saidi dan Kontroversi Fatahillah Seorang Yahudi

Yahudi masih eksis di Indonesia...

Yahudi Masih Eksis di Indonesia

Pada 1957, ketika hubungan antara RI-Belanda putus akibat kasus Irian Barat (Papua), tidak diketahui apakah seluruh warga Yahudi meninggalkan Indonesia. Konon, mereka masih terdapat di Indonesia meski jumlahnya tidak lagi seperti dulu.

Yang pasti dalam catatan sejarah Yahudi dan jaringan gerakannya, mereka sudah lama menancapkan kukunya di Indonesia. Bahkan gerakan mereka disinyalir telah mempengaruhi sebagian tokoh pendiri negeri ini. Sebuah upaya menaklukkan bangsa Muslim terbesar di dunia (Sabili, 9/2-2006).

Dalam buku Jejak Freemason & Zionis di Indonesia disebutkan gedung Bappenas di Taman Surapati dulunya merupakan tempat para anggota Freemason melakukan peribadatan dan pertemuan. Gedung Bappenas di kawasan elit Menteng, dulunya bernama gedung Adhuc Stat dengan logo Freemasonry di kiri kanan atas gedungnya, terpampang jelas ketika itu.

Baca Juga: Museum Holocaust Berdiri di Minahasa, Komunitas Yahudi Sudah Ada Sejak Zaman Belanda

Anggota Freemason menyebutnya sebagai loji atau rumah setan. Disebut rumah setan, karena dalam peribadatannya anggota gerakan ini memanggil arwah-arwah atau jin dan syetan, menurut data-data yang dikumpulkan penulisnya Herry Nurdi.

Freemasonry atau Vrijmetselarij dalam bahasa Belanda masuk ke Indonesia dengan beragam cara. Terutama lewat lembaga masyarakat dan pendidikan. Pada mulanya gerakan itu menggunakan kedok persaudaraan kemanusiaan, tidak membedakan agama dan ras, warna kulit dan gender, apalagi tingkat sosial di masyarakat.

Dalam buku tersebut disebutkan, meski pada tahun 1961, dengan alasan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, Presiden Sukarno melakukan pelarangan terhadap gerakan Freemasonry di Indonesia. Namun, pengaruh Zionis tidak pernah surut. Hubungan gelap ‘teman tapi mesra’ antara tokoh-tokoh bangsa dengan Israel masih terus berlangsung.

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

× Image