Gunungan Wayang Bukan Sekadar Pelengkap, Tetapi Sarat Makna dan Mewakili Alam Semesta
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Wayang adalah salah satu warisan budaya sebagai sarana bercerita yang ampuh kepada masyarakat luas. Selain menceritakan sisi kehidupan manusia, wayang juga pernah dijadikan sarana dakwah para wali.
Menukil laman jbbudaya.jogjabelajar.org, Gunungan Wayang adalah perangkat dalam kesenian wayang kulit yang berwujud menyerupai gunung. Gunungan dikenal dengan istilah kayon yang berasal dari mata kayu karena menggambarkan pohon kehidupan (pohon hayat) beserta hewan penghuni hutan.
Gunungan Wayang pertama kali diciptakan pada tahun 1443 Caka. Saat itu tahun dengan sengkalan berbunyi Geni Dadi Sucining Jagad.
Di masa lalu, pertunjukan wayang hanya menggunakan satu Gunungan. Hingga kini masih dilestarikan Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat hingga kini.
Gunungan akan menjadi pembuka dan penutup pertunjukan wayang. Gunungan akan ditancapkan tegak lurus sebelum dimulai dan ketika pertunjukan selesai. Hal ini dikenal dengan istilah tancep kayon.
Wayang Gunungan bukan sekadar pelengkap, namun sangat sarat makna. Gunungan biasanya dilengkapi dengan beberapa gambar yang mewakili alam semesta.
1. Rumah atau balai dengan lantai bertingkat tiga dan pada bagian daun pintu rumah dihiasi lukisan Kamajaya berhadapan dengan Dewi Ratih.
2. Dua raksasa berhadapan dengan membawa senjata pedang atau gada lengkap dengan tamengnya.
3. Dua naga bersayap.
4. Hutan belantara dengan satwa-satwa.
5. Harimau berhadapan dengan banteng.
6. Pohon besar di tengah hutan yang dililit seekor ular.
7. Kepala makara di tengah pohon.
8. Dua ekor kera dan lutung di atas ranting.
9. Dua ekor ayam alas bertengger di atas cabang pohon.
Gunungan pada wayang kulit berbentuk kerucut atau lancip ke atas yang melambangkan kehidupan manusia. Semakin tinggi ilmu dan semakin tua usia, manusia harus semakin mengerucut (golong gilig) manunggaling Jiwa, Rasa, Cipta, Karsa, dan Karya dalam kehidupan kita (semakin dekat dengan Sang Pencipta).
Sementara gapura dan dua penjaga pada Gunungan Wayang Kulit (Cingkoro Bolo dan Bolo Upoto) melambangkan hati manusia baik dan buruk. Tameng dan godho yang dipegang oleh raksasa tersebut diterjemahkan sebagai penjaga alam dan terang.
Pohon besar yang tumbuh menjalar ke seluruh badan dan puncak gunungan melambangkan segala budidaya dan perilaku manusia harus tumbuh dan bergerak maju alias dinamis, sehingga bermanfaat dan mewarnai dunia dan alam semesta. Pohon besar yang ada pada gunungan juga melambangkan Tuhan memberi pengayoman dan perlindungan bagi manusia yang hidup di dunia ini.
Sementara burung melambangkan manusia harus membuat dunia serta alam semesta menjadi indah dalam spiritual dan material. Banteng pada gunungan melambangkan manusia harus kuat, lincah, ulet, dan tangguh. Sedangkan kera melambangkan sifat manusia harus seperti kera mampu memilih dan memilah baik-buruk, manis-pahit, karena kera mampu memilih buah yang baik, matang dan manis. Harapannya, manusia dapat memilih perbuatan baik dan buruk.
Harimau di alam liar digambarkan sebagai raja hutan. Tetapi pada gunungan harimau dilambangkan manusia harus menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, harus mampu bertindak bijaksana, dan mampu mengendalikan nafsu serta hati nurani. Tujuannya agar menjadi manusia yang lebih baik, yang pada akhirnya bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Sementara rumah joglo atau gapuran melambangkan suatu rumah atau Negara yang didalamnya memiliki kehidupan aman, tenteram, dan bahagia.
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di KURUSETRA dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.