Sejarah Jagakarsa, Ternyata dari Nama Pangeran Kesultanan Mataram Keturunan Raden Fattah
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Jagakarsa menjadi buah bibir setelah terbongkarnya penemuan empat jenazah yang diduga menjadi korban pembunuhan yang dilakukan ayah kandungnya sendiri PD (41 tahun). Keempat jasad tersebut adalah V (6 tahun), S (4 tahun), A (3 tahun), dan A (1 tahun) yang ditemukan di sebuah rumah kontrakan di wilayah Jagakarsa.
Jagakarsa yang kini mencakut enam kelurahan, yakni Kelurahan Serengseng Sawah, Jagakarsa, Lenteng Agung, Cipedak, Tanjung Barat, dan Ciganjur, ternyata punya sejarah panjang. Nama Jagakarsa berasal dari nama seorang pangeran dari Kesultanan Mataram Yogyakarta.
Seperti dirawikan Zaenuddin HM dalam buku karyanya berjudul “212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe,” yang diterbitkan Ufuk Press pada Oktober 2012, nama Jagakarsa berasal dari nama seorang panglima perang Kerajaan Mataram Yogyakarta yakni Raden Bagus Jagakarsa Surobinangun. Saat itu Raden Jagakarsa ikut berperang saat Kerajaan Mataram menyerang Belanda di Kota Batavia pada tahun 1628.
Baca Juga: Tangan Penuh Darah JP Coen Usai Bantai Penduduk Banda dan Jadikan Mereka Budak di Batavia
Saat itu, Raden Jagakarsa menolak pulang karena gagal menaklukkan benteng Batavia. Dia menolak pulang ke Kerajaan Mataram karena takut kena hukuman penggal kepala.
Ia pun memilih menetap di Batavia dan menikah dengan Putri Pajajaran yang saat itu tinggal di wilayah yang sekarang bernama Ragunan. Dari pernikahan tersebut lahir 2 anak yaitu Raden Mas Mohammad Kahfi dan Raden Mas Aria Kemang Yudhanegara.
Rupanya Raden Jagakarsa mempunyai silsilah atau keturunan yang tinggal dan menetap di daerah tersebut. Pada masa lampau namanya begitu kesohor, sehingga orang-orang menyebut kawasan itu daerah Jagakarsa dan hingga kini diabadikan menjadi nama tempat tesebut.
Baca Juga: Gagal Kalahkan VOC di Batavia, Tentara Sultan Agung Kerajaan Mataram Bangun Masjid untuk Berdakwah
Pembukaan Lahan Jagakarsa
Jagakarsa dahulu adalah hutan belantara. Selepas penyerbuan tentara Kerajaan Mataram ke benteng VOC pada 1628 dan 1629, hutan-hutan di pinggiran Batavia dibabat.
Pada 1628 saat pembukaan lumbung padi dari Karawang sampai wilayah selatan Batavia untuk mengepung VOC di Pasar Ikan, Jagakarsa termasuk wilayah yang dibuka. Awalnya, wilayah tersebut dijadikan sebagai tangsi dari pasukan Raden Prembun (De Haan, 1973) kemudian saat penyerbuan dan Mataram mengalami kegagalan, Jagakarsa dijadikan tempat pelarian pasukan Mataram.
Pasukan VOC hanya mengejar pasukan Mataram hingga wilayah Jatinegara. Sisa-sisa pasukan di Jagakarsa dikenal sebagai istilah: Kaum Ganjuran, dari sinilah kemudian berkembang kata Ciganjur, Ganjuran adalah nama sejenis pohon Jati yang ada di sekitaran wilayah Jagakarsa.
Baca Juga: Asal Usul Gado-Gado, Makanan Perang Prajurit Mataram di Batavia yang Bikin Mesut Ozil Jatuh Cinta
Kaum Ganjuran sendiri kemudian mengenal pemimpinnya bernama Surodipo yang dipanggil Kyai Raden Suro. Pada saat penyerbuan ke Batavia tahap dua tahun 1629, Surodipo dibawa ke Mataram dan langsung menerima titah dari Sultan Agung Hanyokrokusumo untuk memimpin 15 panatus (pasukan yang terdiri 100 orang) menyerbu wilayah Batavia.
Pasukan Surodipo sendiri diambil dari wilayah Karawang, Pamanukan dan Indramayu, dari sinilah kelak dialek Jagakarsa dikenal sebagai 'betawi ora'. Pasukan Surodipo di bawah komando Tumenggung Wiroguno.
Pasukan Mataram hancur total...
Pada serangan kedua tahun 1629, Pasukan Surodipo mengalami kehancuran total. Sementara Pangeran Wiroguno melarikan diri ke wilayah yang sekarang disebut Pejaten.
Surodipo saat itu ditangkap di sekitar Gunung Sahari. Dia syahid setelah kepalanya dipenggal oleh Kapten Van Smurtssen seorang perwira dari pasukan bayaran VOC.
Anak Surodipo yang bernama Raden Jagakarsa saat itu masih berusia 14 tahun, berhasil menyelamatkan diri ke wilayah yang sekarang dikenal sebagai Duren Tiga, dulu wilayah tersebut adalah hutan yang banyak dikelilingi pohon duren yang tumbuh liar. Dari Duren Tiga, Raden Jagakarsa kemudian diselamatkan oleh gerilyawan Wiroguno dan dibawa ke Tumenggung Wiroguno.
Wiroguno sendiri membangun markas perlawanan VOC selama 3 (tiga) tahun, lalu pada 1632 Wiroguno membuat sebuah keputusan bahwa wilayah di luar Wiragunan (sekarang Pejaten, Ragunan dan Cilandak) adalah milik dari Raden Jagakarsa. Lalu Raden Jagakarsa menjadi penguasa wilayah ini sampai pada tahun 1685.
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.