Home > Sejarah

Saat Negara-Negara di Dunia Bangkrut, Kelaparan Melanda Hindia Belanda

Pemberitaan menyebut krisis ekonomi hebat ini sebagai zaman malaise.
Seorang ibu dan anaknya di Cirebon, kekurangan gizi di zaman kelaparan pada 1930-an. Foto: KITLV
Seorang ibu dan anaknya di Cirebon, kekurangan gizi di zaman kelaparan pada 1930-an. Foto: KITLV

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Krisis ekonomi yang pernah terjadi pada 1997 dan belum terpecahkan hingga 2004, menjadi sorotan utama kampanye Pemilu 2004. Krisis semacam ini juga pernah terjadi pada masa kolonial Belanda.

Menyusul terjadinya depresi hebat di Amerika Serikat pada musim gugur 1929. Krisis ekonomi di AS dimulai dari Wall Street sebagai pusat bursa dan perdagangan AS.

Krisis ini dengan cepat menjalar ke berbagai negara. Jerman bangkrut dan rakyatnya berpaling pada Adolf Hitler.

Inggris terpaksa melemparkan cadangan emasnya. Di AS sendiri produksi menurun dengan amat cepat dan banyak pabrik tutup.

Beribu-ribu penganggur rela antre untuk mendapatkan jatah ransum. Karena hasil pertanian tidak lagi menutupi biaya produksi, para petani sepakat tolak bayar pajak dan membuang ke laut surplus hasil pertaniannya.

Di tanah air kehidupan rakyat makin sulit dan kelaparan di mana-mana, sementara pemuda Soekarno dan para pejuang lainnya meningkatkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dengan tuduhan menggerakkan rakyat untuk melakukan pemberontakan, Soekarno pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara (Desember 1929).

Pemberitaan menyebut krisis ekonomi hebat ini sebagai zaman malaise. Para pejuang kemudian memplesetkannya jadi ‘zaman meleset’ dan menjadi ucapan sehari-hari masyarakat kala itu. Seperti saat ini, pengangguran dan PHK terjadi di mana-mana.

Di Sumatra Timur misalnya, beribu-ribu kuli perkebunan menganggur. Pegawai negeri banyak yang dilepas, sedangkan yang tidak dipecat hanya menerima gaji separuh.

Begitu sulitnya kehidupan sehingga mencari uang sebenggol atau segobang (dua setengah sen) saja sangat sulit. Ketika menghadapi ejekan Belanda bahwa bumiputera hidupnya hanya sebenggol sehari, Soekarno pun membalasnya bahwa Belandalah yang harus bertanggungjawab atas keadaan yang sangat menyedihkan ini.

Berikut kutipan laporan wartawan Kwee Tek Hoay yang dimuat majalah Mustika Romans edisi Februari 1933 dengan ejaan Melayu-Cina. "Malaise atawa economisch depressie sudah mendatangkan kesengsaraan heibat pada manusia dan seluruh dunia. Dilaporkan seorang hartawan bernama Khong di Semarang yang memiliki kekayaan jutaan gulden, dan tiap bulan paling sedikit meraup keuntungan 50 ribu gulden, ludes dan jatuh miskin. Rumah-rumah sewaan dan onderneming (perkebunan)-nya musnah karena disita oleh bank, seperti dialami para konglomerat sekarang ini."

Mustika Romans juga memberitakan, bahwa seorang pemuda bernama Soey Liang, seorang boekhouder (ahli pembukuan/tatabuku), yang bekerja di salah satu perusahaan importir milik Amerika di Batavia gajinya diturunkan dari 200 gulden jadi 100 gulden. Hingga pemuda ini gagal melangsungkan pernikahan karena gaji bukan saja tidak mencukupi tapi masa depan juga suram.

Dia dan sebagian besar masyarakat harus lebih menggencangkan ikat pinggang, dan mengadakan bezuininging (penghematan). Sebuah perusahaan besar di Surabaya terpaksa harus mem-PHK para pegawainya.

Termasuk sejumlah stafnya yang bergaji besar telah di onslag (diberhentikan) karena tidak sanggup membayar gajinya. Termasuk seorang asing di jajaran stafnya dengan gaji 400 gulden per bulan.

Seorang pekerja dari Singapura pada perusahaan Inggris di Batavia dengan gaji 250 gulden juga kena PHK. Yang menyedihkan ia hanya diberi pesangon satu bulan gaji.

Maklum, kala itu nasib dan hak-hak buruh sangat menyedihkan. Seperti juga sekarang, banyak perusahaan waktu itu yang failliet atau bangkrut. Hingga tidak terhitung banyaknya werkloos (pengangguran).

Oen Kwse Djit, seorang hartawan terkenal di Betawi saat itu perusahaannya jatuh hingga mengubah profesinya jadi pedagang keliling ke kampung-kampung Cina. Ia memikul dagangannya berupa tauwhu (tahu), tauwkwa (tahu yang dipotong persegi dan agak berair) danj tauwge (toge). Tapi, untungnya pada awal abad ke-20 jauh sebelum malaise Batavia mencapai kemakmuran yang melimpah.

Perumahan Menteng dan Gondangdia mulai dibangun yang hingga kini menjadi kawasan elite. Demikian pula sejumlah hotel, toserba, tempat hiburan, bermunculan di Noordwijk (Jl Juanda) dan Rijswijk (Jl Segara).

Kemakmuran ini berasal di pulau Jawa dan pulau-pulau Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi dari karya para petani dan buruh, yang nampaknya puas dengan upah kecil untuk memperkaya golongan ningrat setempat, kaum pengusaha Cina dan kepentingan -kepentingan pengusaha Belanda, tulis Willard A Hanna, dalam Hikayat Jakarta.

Bung Karno tahun 1930-an dalam tulisannya di Fikiran Rakyat menyerang kebijakan pemerintah kolonial yang begitu banyaknya mengekspor hasil kekayaan dari bumi Indonesia, sementara hanya setengahnya saja barang yang diimpor. Kekayaan hasil bumi Indonesia yang banyak laku di mancanegara ketika itu terutama karet, kopi, teh, gula, timah, dan kapuk.

Karenanya ketika kemudian terjadi malaise waktu nilai ekspor turun setengahnya batas keuntungan masih sedemikian luasnya. Sehingga mereka yang berada dan kaya tidak mengalami kekurangan apa-apa, tulis Hanna.

× Image