Ziarah ke Leluhur Wali Songo, Hadramaut Negeri Para Habaib
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Pesawat Airbus 310 Yaman Airways mendarat mulus di Bandara Sana’a, Ibukota Republik Yaman, menjelang adzan Subuh pada 5 Sya’ban 1423 H (11 Oktober 2002). Cuaca dingin menyambut kedatangan Alwi Shahab dan rombongan Biro Perjalanan Alisan setelah menempuh perjalanan 13 jam dari Jakarta, termasuk transit di Kuala Lumpur dan Dubai.
Apalagi sebagian besar rombongan tersebut berbaju koko, kopiah putih, dan bersarung, pakaian sehari-hari masyarakat di Yaman yang berpenduduk 18 juta jiwa. Setelah pemeriksaan cukup ketat dan sholat Subuh di bandara, kami pun menuju Sana’a International Hotel, sekitar 10 km dari bandara. Kota Sana’a dikelilingi oleh gunung batu, dan terletak di ketinggian lebih 2.000 meter di atas permukaan laut.
Akibat tipisnya udara dan berkurangnya oksigen, aktivitas fisik di kota ini cepat melelahkan. Setelah beristirahat, sebagian ada yang mendatangi tempat panglima kerajaan Habasyah (Ethiopia) yang terletak di bagian kota tua Sana’a.
Raja penjajah Yaman itu berencana menghancurkan Ka’bah. Maka Allah mengirimkan burung Ababil berbondong-bondong dan pasukan gajah dari Abrahah ini pun dihancurkan. Kisah ini diabadikan Alquran dalam surah Al-Fil.
Di antara rombongan ada sejumlah ulama terkenal. Seperti Habib Syeih Aljufri dan Habib Ali Assegaf yang tiap Jumat menggalang ribuan jamaah untuk sholat subuh di masjid-masjid, Habib Abdurahman Alatas yang telah mengirim ratusan siswa Indonesia belajar di Hadramaut, Habib Segaf Aljufri, ketua MUI Sulawesi Tengah dan pimpinan pesantren Al-Khairat di Palu dan belasan kyai lainnya.
Di Jeddah, setelah dari Hadramaut, rombongan Abah Alwi bertemu dengan rombongan KH Abdul Rasyid AS, pimpinan Asyafiiyah Jakarta yang hendak mengantarkan putranya belajar di pesantren Darul Musthafa Hadramaut. Selain Darul Musthofa pimpinan Habib Umar Hafidz, terdapat Rubath Tarim pimpin Habib Hasan Assyatiri dan adiknya Habib Salim.
Sejak 1995, setelah berakhirnya kekuasaan komunis selama 25 tahun, semakin banyak pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di Hadramaut. Bahkan Habib Umar Hafidz juga mendirikan Darul Zahrah khusus untuk wanita.
Saat itu sekitar 800 pelajar Indonesia menempuh pendidikan agama di Hadramaut, termasuk 50 siswi. Sistem pendidikannya masih tradisional (shalafi), tapi Darul Mustofa di samping tradisional juga memberikan pelajaran pengetahuan umum. PM Malaysia Mahathir Muhammad pernah mendatangi Habib Umar Hafidz karena siswa dari negara itu cukup banyak menempuh pendidikan di pesantrennya.
Perjalanan dari Sana’a ke Seiyun salah satu kota di Hadramaut melalui pesawat berlangsung 45 menit. Setelah makan siang Abah Alwi dan rombongan menuju Tarim yang jaraknya sekitar 45 km.
Dalam perjalanan ini, dan selama sepekan di Hadramaut, Abah Alwi dan rombongan menghabiskan lebih banyak waktu untuk berziarah. Ziarah pertama ke makam Imam Ahmad Almuhajir yang terletak di sebuah bukit. Ahmad Almuhajir bin Isa bin Muhamad bin Ali al-Uraidhi bin Jafar Shadig bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abhi Thalib, pada 317 Hijriah, meninggalkan kota Basra di Irak.
Ia kemudian menetap di Hadramaut bersama 70 keluarga dan pengikutnya. Sejak itu berkembanglah keturunannya hingga jadi kabilah terbesar di sana.
Menurut taksiran pada 1366 H (kurang lebih 57 tahun lalu), jumlah keturunan Ahmad Almuhajir di Hadramaut berjumlah 70 ribu jiwa, terdiri atas 200 marga. Jumlah ini diyakini jauh lebih kecil dibandingkan keturunannya yang bermukim di Indonesia. Menurut Ensiklopedi Islam, orang Hadramaut merupakan penyebar Islam yang andal di berbagai belahan bumi.
Ini dapat dilihat dari acara Haul Nabi Allah Hud AS yang berlangsung dari tanggal 13 sampai 15 Okrober 2002. Ternyata banyak warga keturunan Hadramaut dari Eropa, Rusia, Oman, Emirat Arab, Arab Saudi, Indonesia, Malaysia dan Singapura yang menghadirinya.
Dalam suatu acara wakil dari masing-masing negara saling menceritakan pengalaman dakwah Islam di tempatnya masing-masing. Setelah itu kita berziarah ke Zambal, sebuah pemakaman umum di Tarim.
Pemakaman yang konon sudah berusia delapan ratus tahun, tampaknya lebih besar dari pemakaian Baqi di Madinah dan Ma’la di Makah. Hanya saja kalau di kedua kota suci kuburan tidak boleh diberi tanda, di Zambal terdapat batu-batu nisan dan mereka yang dimakamkannya.
Menurut Saleh Aljufri, alumnus Darul Mustafha, di pemakaman ini terdapat sekitar 10 ribu aulia dan 80 kutub. Di pemakaman ini, mengetahui Abah Alwi dari Indonesia, seorang konjen menunjuk beberapa kuburan. ”Ini adalah para leluhur para Walisongo di Indonesia,” katanya.
Yang dimaksud leluhur Walisongo di antaranya Muhamad Sahib Mirbat dan Ali Khali Gasam. Keduanya keturunan Ahmad Almuhajir. Di Hadramaut, dalam bincang-bincang dengan tokoh masyarakatnya, mereka sangat mengenal Walisongo.
Bahkan sejumlah tokoh ulama Indonesia gambarnya terpampang bersama ulama Hadramaut. Gambar itu dijual di toko-toko buku dan di majelis-majelis taklim oleh pedagang kaki lima. Pemerintah kolonial Belanda dalam politik anti-Arab mengatakan Islam di Indonesia datang dari Gujarat (India) dan Persia.
Ini telah dikoreksi melalui beberapa seminar di Medan (1963), Minangkabau (1969), Riau (1975), Aceh (1978 dan 1980), serta Palembang (1984), dengan menegaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia secara langsung dari negeri Arab. Dalam kaitan dengan Walisongo, tidak dapat dipungkiri kemungkinan sebelum ke Indonesia mereka terlebih dulu ke Gujarat. Mengingat pelayaran dengan kapal layar harus singgah ke berbagai tempat.