Tarawangsa Rancakalong, Kesenian Sunda yang Sakral dan Berdaya Magis Tinggi
Oleh: Syahrial, Dosen Pendamping Program Kepedulian Masyarakat UI dalam “Pendokumentasian dan Pemetaan Seni Tradisi Kabupaten Sumedang” Ditmawa UI tahun 2021.
KURUSETRA, Salam Sedulur... Lelaki tua itu dengan hati-hati mengeluarkan berbagai alat musik tradisional Sunda miliknya. Salah satunya sebuah rebab jangkung yang sudah tua. Alat musik ini adalah perangkat utama pertunjukan seni Tarawangsa, selain kecapi bersebar tujuh.
Dengan penuh penghayatan, lelaki yang masih gagah di usia tuanya itu kemudian menunjukkan kepiawaiannya dalam memainkan alat musik bersenar dua itu. Permainan berselang-seling dengan aneka cerita seputar sejarah Tarawangsa hingga menjadi bagian dari masyarakat Rancakalong sekarang.
Dari cara bicaranya, pengetahuan Abah Yayat, panggilan sehari-harinya, tampak luas sekali hingga sekelompok mahasiswa Universitas Indonesia yang sore itu berkunjung ke rumahnya berdecak kagum. Kehadiran para mahasiswa di sana dalam rangka melakukan survey mengenai situasi terkini seni tradisi di wilayah Kabupaten Sumedang. Jadi wajar apabila perhatian mereka terhadap uraian Abah Yayat menjadi perhatian dan catatan.
Menurut sang seniman, Tarawangsa adalah seni tradisi tertua di Sumedang, khususnya di Rancakalong. Kesenian Tarawangsa biasanya ditampilkan dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ritual panen padi.
Perayaan itu diselenggarakan sebagai wujud syukur masyarakat kepada Yang Mahakuasa karena telah memberikan hasil panen yang berlimpah. Pada saat acara syukuran dilangsungkan, para petani membawa aneka makanan yang dibuat dari hasil pertanian mereka untuk diberi doa dan kemudian dinikmati bersama. Tidak lupa juga buah-buahan.
Orang yang membacakan doa-doa biasanya adalah sesepuh atau tokoh agama yang biasa bertugas untuk itu. Setelah doa-doa didaraskan, rebab dan kecapi pun dimainkan. Seketika bunyi-bunyi yang berbau mistis menggema dengan lembut mengisi seluruh ruangan bersama asap dupa yang dinyalakan. Saat itu, satu per satu penari maju ke tengah lingkaran, menari sesuai dengan gerak batin masing-masing hingga beberapa di antaranya mengalami trance.
Menurut Abah Yayat, Tarawangsa merupakan kependekan dari Tatabeuhan Rakyat Wali Salapan atau alat musik pukul milik rakyat yang berasal dari wali sembilan. Karena itu, menampilkannya tidak boleh asal-asalan atau hanya sekadar pertunjukan belaka.
Bagi masyarakat Sumedang, khususnya yang tinggal di Rancakalong, Tarawangsa merupakan salah satu kesenian sakral yang memiliki nilai magis tinggi. Kesakralan yang melekat pada seni tradisi Tarawangsa terletak keberadaan seni itu sendiri yang pernah dijadikan sebagai wahana penyebaran agama Islam para wali di tanah Pasundan.
Dengan latar belakang sejarah itu, para pemain musik Tarawangsa dan hadirin yang akan ikut menari harus berwudhu dan merapalkan dua kalimat syahadat terlebih dahulu. Ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para leluhur mereka ketika melaksanakan ritual panen padi di masa lalu.
Menurut pendiri dan pengelola Lingkung Seni Mitra Buhun Cahya Mekar itu, seni Tarawangsa yang ada di Rancakalong sudah ada sejak abad ke-16. Waktu itu, para wali menggunakannya dalam rangka penyebaran agama Islam. Hingga kini, originalitasnya masih tetap terjaga, tidak ada penyelewengan atau modifikasi yang pernah dilakukan, termasuk tarian dan jenis doa-doanya.
Sebagai media penyebaran agama, tidak heran apabila seni Tarawangsa memiliki filosofi dan simbol-simbol yang merujuk pada keagungan Tuhan. Misalnya, alat musik kecapi dengan tujuh senar menunjukkan jumlah hari dalam satu pekan, sedangkan rebab dengan dua senar menyimbolkan dua kondisi alam, yaitu siang dan malam. Begitu pula lagunya.
Tujuh belas pupuh yang dinyanyikan merupakan serangkaian pepatah dan nasihat yang bermakna. Angka tujuh belas itu merujuk pada jumlah rakaat dalam salat lima waktu yang menjadi kewajiban umat Islam.
Kesimpulannya, manusia harus menyadari bahwa dia tinggal di alam dunia yang berisi siang dan malam dengan hari berjumlah tujuh setiap pekannya. Karena itu, kehidupan di dunia harus diisi dengan ibadah kepada Tuhan dengan cara melaksanakan salat lima waktu sehari semalam dengan total tujuh belas rakaat.
Tarian yang dibawakan para hadirin pun tidak asal gerak semata, ada kaitannya dengan aktivitas pertanian. Penari yang biasanya berjumlah lima belas orang, sembilan orang laki-laki dan enam orang perempuan, tidak ada berpegang pada pola gerakan atau pakem tertentu. Tubuh mereka bebas mengikuti irama musik, tetapi tetap haruslah sesuai dengan gerakan-gerakan yang melambangkan dunia pertanian.
Kesenian Tarawangsa diadakan malam hari di rumah atau gedung pertemuan. Acara berlangsung sejak pukul 8 malam sampai pukul 3 dini hari. Para perempuan yang akan menari disepakati mulai pukul 8 hingga dan berakhir pada pukul 11 malam.
Waktu untuk para penari laki-laki adalah sesudahnya hingga pukul 3 dini hari. Pembagian waktu demikian sengaja diambil agar kegiatan berlangsung tertib tanpa mengurangi kemeriahannya.
Kentalnya jiwa magis dalam Tarawangsa tampak dari aneka sesajian aneka makanan dan buah-buahan. Masyarakat Sumedang percaya bahwa aneka sajian itu merupakan semacam kalam tidak tertulis dari yang Mahaagung untuk manusia untuk diperlukan secara benar agar melahirkan kesehatan bagi yang memakannya sekaligus membawa keberkahan bagi semua. Setiap makanan yang dijajakan memiliki nilainya pentingnya masing-masing, sehingga tentu tidak bisa disajikan begitu saja.
Dari obrolan panjang sore berhujan itu terungkap adanya semacam keresahan dalam diri lelaki yang mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk seni tradisi Sumedang. Keresahan itu adalah miskinnya perhatian generasi muda.
Abah Yayat dengan nada sedih mengatakan antusiasme anak-anak muda di daerahnya kurang sehingga seni budaya yang ada seolah mati suri. Masyarakat saat ini juga sedikit yang berminat.
Tarawangsa dan sejenisnya dianggap seni yang ortodoks, masa lalu, dan tidak cocok untuk zaman sekarang. Padahal, menurutnya, selama bumi ini tidak bisa diganti, kebudayaan di dalamnya harus juga dilestarikan agar tidak punah.
Keresahan serupa diungkapkan juga oleh Engkus Kusmayati, seorang sejarawan yang banyak menulis mengenai sejarah Kerajaan Sumedang Larang dan raja-rajanya. Bagi Bu Engkus, begitu panggilannya sehari-hari, generasi muda sekarang perlu diberi pemahaman bahwa seni tradisi yang ada perlu dilestarikan karena itu jatidiri Sumedang.
R. Lucky Djohari Soemawilaga yang kini menjabat sebagai Sri Radia Keraton Sumedang Larang mengungkapkan Rancakalong sebagai pusat kesenian Tarawangsa harus dijaga kelestarian dan originalitasnya. Sebab, dalam sebuah tradisi selalu ada esensi yang hidup dan memperkaya suatu daerah.
Karena itu, lanjutnya, para penjaga seni tradisi itu adalah pejuang-pejuang Sumedang. Seni tradisi itu sama dengan candi, sama-sama peninggalan luhur. Seperti halnya mahkota binokasih yang menjadi esensi Sumedang Larang, Tarawangsa atau Kuda Renggong menjadikan jatidiri Sumedang menjadi utuh.
"Saya sangat berterima kasih bahwa di masyarakat Rancakalong masih ada seniman dan budayawan yang yang masih istiqamah memberikan waktu mereka untuk melestarikan Tarawangsa."
Dan kepada mahasiswa yang hari itu memenuhi ruang tamu rumahnya, Abah Yayat mengungkapkan harapannya dengan suara lirih. Di usia Abah yang sudah tidak muda ini, Abah selalu berdoa kepada Gusti Allah agar berkenan memberi Abah umur panjang supaya seni tradisi tertua Rancakalong ini bisa terwariskan kepada generasi muda dan mereka dengan ikhlas mau melestarikannya.