Serat Centhini Bukan Sekadar Kitab Kamasutra Orang Jawa
KURUSETRA -- Salam Sedulur...Bagi masyarakat Jawa, Serat Centhini adalah kitab yang menjadi pegangan hidup selain kitab suci. Serat Centhini adalah produk adiluhung dari sebuah karya sastra yang menceritakan tentang kehidupan dan pengetahuan masyarakat Jawa pada abad ke 16-17.
Buku kesusastraan Jawa ini yang aslinya berjudul Suluk Tembangraras ditulis dengan bahasa dan tulisan Jawa Kawi dalam bentuk tembang Macapat. Buku yang ditulis tiga pujangga dari Kerajaan Surakarta, yakni Ranggasutrasna, Yasadipura II, dan R.Ng. Sastradipura pada 1823 itu, disusun dalam 12 jilid yang terdiri dari 4.000 halaman. Ketiga pujangga besar Keraton Solo itu diperintahkan Adipati Anom Amangkunagara III, putera mahkota Keraton Solo yang diangkat menjadi raja dengan gelar Sunan Paku Buwono V pada 1820, untuk menyusun sebuah serat yang ternyata tanpa sungkan juga memuat kisah persenggamaan.
Serat Centhini yang terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) sebagian isinya mengungkapkan keseharian budaya Jawa yang dipadukan dengan ajaran Islam. Serat Centhini terdiri dari enam versi, salah satunya berada di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda, yakni Serat Centhini Pisungsung. Serat Centhini Pisusung dipersembahkan Raja Pakubuwana VII untuk Ratu Belanda pada 1912.
Setiap lembar Serat Centhini menceritakan semua tata cara, adat istiadat, legenda, cerita, ilmu-ilmu kebatinan, dan pengetahuan lain yang hidup di kalangan masyarakat Jawa pada abad 16-17. Bahkan Serat Centhini juga mengandung ajaran tasawuf sufi di dalamnya.
Sayang seribu sayang, karya ini lebih dikenal sebagai kitab ilmu seks milik orang Jawa. Padahal, meski memuat beberapa cerita dan pendidikan seks yang diceritakan cukup vulgar, Serat Centhini adalah kitab pegangan masyarakat Jawa menjaga nilai-nilai luhur budaya.
Mahakarya Kesusastraan Jawa
Budayawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Budi Subanar dalam rangkaian pembukaan Borobudur Writers and Cultural Festival di Magelang beberapa waktu lalu mengatakan, Serat Centhini yang sejak 2006 sudah diluncurkan dalam bahasa Inggris, mengajak pembacanya untuk mengembara. Seperti yang digambarkan oleh dua tokoh dalam Serat Centhini , Cebolang dan Amongraga.
"Beberapa peristiwa tersebut menunjukkan Serat Centhini yang telah dihasilkan oleh para pujangga zaman Pakubuwono V. Dua tokoh dalam Centhini memang secara fisik dan pengetahuan mengajak para pembaca Centhini untuk mengembara," ujar Budi.
Cebolang menyampaikan berbagai khazanah pengetahuan, sehingga Serat Centhini layak disebut sebagai "Ensiklopedi Kebudayaan Jawa". Menurut Budi, pengembaraan Amongraga sebagian merupakan pengembaraan simbolik. Bersama pasangannya, Tambangraras, ia melewatkan malam-malam pertama pernikahannya selama 40 hari 40 malam tanpa bersenggama. Alih-alih menikmati malam sebagai pengantin baru, Amongraga mengisinya dengan berbagai cerita kepada istrinya.
Mereka tidak menikmati malam-malam tersebut sebagaimana layaknya pasangan pengantin baru. Amongraga malah mengisinya dengan berbagai ajaran yang merupakan tradisi sufi, tasawuf.
"Di situlah kekayaan Serat Centhini berada. Perkaranya, orang banyak terperangkap seolah-olah Serat Centhini berada di pinggiran kisah-kisah yang membingkainya," katanya.
Ilmu tasawuf yang terselip dalam lembar-lembar Serat Centhini, mengajarkan manusia, khususnya masyarakat Jawa untuk menyucikan jiwa, membangun lahir dan batin, hingga menjernihkan akhlak guna mendapatkan kebahagiaan infiniti.
Di akhir-akhir malam ke-40, di mana Amongraga dan Tambangraras sudah terbebas dari sekat dan jarak, lahirlah sajak tentang keindahan di atas ranjang sang pengantin. Sebagai catatan, Centhini adalah nama abdi dalam Tambangraras
"Di kamar pengantin, angin diam mengembus kandil. Ini malam ketiga puluh sembilan. Di ranjang bidadari, Amongraga dan Tambangraras tidak lagi melihat ketelanjangan masing-masing maupun jarak pemisah mereka. Tidak ada lagi haluan maupun buritan, raib pula garis batas air."