Home > Sejarah

Kaiin Bapa Kayah, Pendekar dari Tangerang yang Lawan Kompeni dan Tuan Tanah Pencekik Rakyat

Selain kompeni, banyak tuan tanah yang memeras mereka dengan keharusan membayar cuke (pajak) yang mencekik leher.
Lokasi yang diperkirakan sebagai tempat perlawanan Kaiin Bapa Kayah. Foto: IST.
Lokasi yang diperkirakan sebagai tempat perlawanan Kaiin Bapa Kayah. Foto: IST.

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Sejak masa VOC, tanah-tanah partikelir –– yang di Belanda disebut landerijen–– telah bermunculan di Batavia dan ommelanden (daerah pinggiran kota). Namun, pada masa kekuasaan Daendels dan Raffles (1808-1816), tanah-tanah partikelir makin meluas karena kedua gubernur jenderal itu memerlukan banyak uang untuk berbagai kegiatan pemerintahan.

Di Batavia dan sekitarnya ada tidak kurang dari 230 lokasi tanah partikelir milik para tuan tanah Eropa, Cina, dan Arab. Umumnya, tanah-tanah itu disewakan pemiliknya pada petani untuk digarap sebagai sawah dan kebun atau tanah disewakan kepada para pengusaha yang pada gilirannya memanfaatkan kaum tani yang berdiam di daerah sekitar.

BACA JUGA: Polisi di Masa Hindia Belanda tidak Mengenal Pungli

Selain kompeni, banyak tuan tanah yang memeras mereka dengan keharusan membayar cuke (pajak) yang mencekik leher. Tidak heran kalau saat itu petani penggarap hidup melarat, sementara tuan tanah bergelimang harta. Sejarah mencatat, para pemimpin perjuangan di tanah-tanah partikelir umumnya berasal dari petani.

Di antara pejuang yang memelopori perlawanan terhadap tuan tanah adalah Kaiin. Karena orang tuanya bernama Bapak Kayah, dia disebut Kaiin Bapak Kayah. Lahir pada 1884 di Kampung Pangkalan, Tangerang, sejak kanak-kanak Kaiin termasuk pendiam dan taat kepada kedua orang tuanya. Dia belajar mengaji sambil belajar main pukulan (silat).

BACA JUGA: Ibu-Ibu Berpakaian Kebaya dan Rambut Dikonde Dipaksa Belajar Bahasa Jepang

Karena dikenal alim dan pandai main silat, Kaiin diangkat menjadi mandor pengawas perkebunan milik tuan tanah Tionghoa di Kampung Pangkalan. Ketika menjadi mandor itulah dia melihat ketidakadilan dan pemerasan para tuan tanah terhadap saudara-saudaranya rakyat pribumi.

Tidak sanggup melihat kesewenang-wenangan itu, Kaiin mengundurkan diri. Mulai saat itulah dia mengembara ke berbagai tempat, seperti Batavia, Bekasi, Bogor, dan Karawang. Di Batavia dia sempat bekerja di kantor polisi sebagai opas. Di sini Kaiin kembali tergugah melihat ketidakadilan para hamba wet (hamba hukum) dalam menangani berbagai kasus dengan sangat diskriminatif.

JANGAN LEWATKAN ARTIKEL MENARIK LAINNYA:
> Humor Gus Dur: Jenderal Orba Menang Lomba Tebak Umur Mumi, Caranya Dipukulin Sampai Ngaku Sendiri

> Sejarah Sumpit yang Diharamkan Dipakai Umat Islam untuk Makan

>Tak Perlu Pakai Pawang, Begini Cara Muhammadiyah Cegah Hujan

> Pawang Hujan Mandalika, Ustadz Khalid Basalamah: Pawang Hujan Itu Dukun, Haram Hukumnya dalam Islam

> Humor Gus Dur: Gara-Gara Dikirimi PSK, Gus Dur Terpaksa Tidur di Sofa

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

× Image