Home > Sejarah

Dulu Orang Betawi Pakai Blangkon Bukan Peci, Orang China Rambutnya Kepang Taucang

Kala itu orang Cina diharuskan menggunakan taucang yang merupakan kebiasaan bangsa Manchu
Pedagang di Pasar Baru. Kala itu orang Cina diharuskan menggunakan taucang yang merupakan kebiasaan bangsa Manchu
Pedagang di Pasar Baru. Kala itu orang Cina diharuskan menggunakan taucang yang merupakan kebiasaan bangsa Manchu

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Foto para pedagang buah-buahan di Pasar Baru, Jakarta Pusat, diabadikan tahun 1910-an. Para pedagang yang memakai busana Betawi semacam blangkon ala Jawa Tengah dengan baju lurik tengah melayani pembeli seorang Cina yang berpakaian dari negeri leluhurnya. Pemuda Cina dengan rambut taucang dikonde di bagian belakangnya dan bertelanjang kaki tengah menawar harga ayam yang dikurung dalam keranjang.

Rupanya busana para pedagang Betawi sekitar 100 tahun lalu masih menggunakan tutup kepala seperti layaknya masyarakat Jawa. Baru kemudian digantikan oleh kopiah hitam yang dipopulerkan oleh Bung Karno sejak tahun 1930-an. Kala itu orang Cina diharuskan menggunakan taucang yang merupakan kebiasaan bangsa Manchu yang mendirikan dinasti Qing di Tiongkok (1644-1911).

BACA JUGA: Gus Baha Tolak Uang Sumbangan Miliaran Rupiah dari Pengusaha Arab Saudi, Ini Alasannya

Selama dinasti ini berkuasa, mereka mengharuskan perantau Cina mengikuti tradisinya mengepang rambutnya dan melicinkan bagian atas. Meskipun pada 1911 dinasti Qing sudah tidak berkuasa lagi di daratan Cina, kini giliran Belanda yang tetap mempertahankan tradisi yang sudah berusia ratusan tahun itu. Karena pemerintah kolonial mengenakan pajak kepala atau pajak rambut panjang kepada warga Cina.

Seperti terlihat dalam foto, di pasar buah-buahan umumnya adalah produk lokal seperti salak, nenas, jeruk, kelapa, yang kini telah digantikan oleh buah-buahan impor yang mendominasi perdagangan di mal-mal dan supermarket. Bahkan para pedagang di kampung-kampung. Padahal, sampai awal tahun 1970-an, apel dan anggur merupakan buah-buahan yang harganya tidak terjangkau oleh masyarakat kelas bawah.

BACA JUGA: MP3 Juice Bikin Download Video YouTube Lebih Mudah dan Cepat, Dijamin Gratis

Buah-buahan ini diselundupkan ke Indonesia melalui para inang dari Singapura. Sampai tahun 1960-an kampung-kampung di Betawi banyak terdapat pohon durian, duku, rambutan, dan mangga. Kini durian lokal sudah sulit didapat, kalah bersaing dengan durian Thailand di mal-mal.

Di daerah-daerah pinggiran Betawi kala itu seperti Pasar Minggu, Kemang, Kuningan, Tebet, dan Condet kaya dengan berbagai jenis buah-buahan. Pada pagi hari para pedagang di sini dengan memikulnya menjual hasil tanaman mereka ke daerah-daerah perkotaan seperti Manggarai, Menteng, Kwitang, Kebon Sirih, dan Tanah Abang. Sungguh tragis, Indonesia negara agraris yang kaya raya dengan buah-buahannya, kini sebagian besar mengonsumsi buah-buahan impor.

BACA JUGA: Kisah 300 Tahun Makam Keramat Pangeran Jayakarta Disembunyikan di Jatinegara Kaum

Pasar Baru mulai dikenal sejak Gubernur Jenderal Daendels memindahkan kota tua dari Pasar Ikan ke Weltevreden. Untuk kepentingan warga Belanda dan Eropa, mereka membuka pertokoan Pasar Baru yang di dekatnya banyak bermunculan perkampungan Eropa. Para pedagangnya banyak keturunan Cina dan India (Bombay).

BACA BERITA MENARIK LAINNYA:
> Humor NU: Orang Muhammadiyah Ikut Tahlilan Tapi Gak Bawa Pulang Berkat, Diledek Makan di Tempat Saja

> Bolehkah Makan Nasi Berkat dari Acara Tahlilan? Halal Bisa Jadi Haram

> Banyak Pria Jakarta Sakit Raja Singa Gara-Gara Wisata "Petik Mangga"

> Kata Siapa Muhammadiyah tidak Punya Habib, KH Ahmad Dahlan Itu Keturunan Rasulullah

> Pak AR Salah Masuk Masjid, Diundang Ceramah Muhammadiyah Malah

> Humor Cak Nun: Soal Rokok Muhammadiyah Terbelah Jadi Dua Mahzab

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

× Image