itemprop='headline'

Mengapa Anak Tentara Dijuluki ‘Anak Kolong’?

Prajurit TNI. Julukan ‘anak kolong’ melekat kepada putra-putri prajurit TNI.

KURUSETRA, Salam Sedulur… Di pinggiran Kota Cimahi, Jawa Barat, deretan rumah dinas tua masih berdiri di kompleks yang pernah ramai oleh langkah sepatu lars. Cat tembok di rumah-rumah tersebut sudah mengelupas, tetapi papan kayu di bawah ranjang-ranjang besi di dalam rumah-rumah di kompleks tersebut masih kukuh. Di situlah, anak-anak prajurit tentara tidur setiap malam di kolong ranjang sehingga muncul istilah ‘anak kolong’.

Julukan itu sudah melintas zaman. Mungkin bagi ‘warga sipil’ julukan itu hanya sekadar istrilah, tetapi bagi mereka yang tumbuh dan besar di barak, istilah itu menyimpan sejarah panjang tentang kehidupan militer, sempitnya ruang, solidaritas keluarga, dan kebanggaan yang dibentuk dari keterbatasan.

Jejak Kolonial di Balik Tangsi

Istilah anak kolong berakar dari sistem permukiman militer yang dibangun pada masa Hindia Belanda. Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia (Balai Pustaka, 1990) disebutkan, kata “tangsi” berasal dari bahasa Belanda kazerne, tempat tinggal pasukan reguler kolonial (KNIL).

Di setiap tangsi, para serdadu pribumi berpangkat rendah menempati barak-barak kayu sederhana dengan fasilitas terbatas. Menurut catatan sejarah dalam buku Hindia Belanda dalam Data dan Fakta (Djoko Suryo, 2005), seorang prajurit berpangkat rendah hanya mendapat ruang tidur selebar 2×3 meter untuk keluarganya. Tempat tidur dari kayu panjang dibagi dua atau tiga orang. Anak-anak yang tak kebagian ranjang biasanya tidur di bawah dipan — di kolongnya.

BACA JUGA: Bendera Merah Putih Raksasa Robek Saat Gladiresik HUT ke-80 di Monas

Dari realitas itulah muncul istilah “anak kolong”: anak-anak prajurit yang tidur di kolong ranjang barak. Istilah itu mula-mula bersifat literal, tapi kemudian melekat secara sosial hingga menjadi identitas.

Dalam wawancara yang pernah dimuat Republika edisi 12 Oktober 2008, sejarawan Universitas Indonesia, Asvi Warman Adam, menjelaskan istilah “anak kolong” merefleksikan warisan sosial tentara kolonial yang hidup di bawah hirarki ketat dan kondisi ekonomi rendah.

“Sebagian besar prajurit pribumi hidup sederhana, bahkan miskin. Rumah dinas mereka bukan rumah keluarga ideal, melainkan bangunan tangsi bersama. Dari situ, istilah ‘anak kolong’ berkembang menjadi simbol anak-anak prajurit yang hidup dalam kedisiplinan, tapi juga keterbatasan,” ujarnya.


Kehidupan di tangsi menciptakan budaya khas: kebersamaan, keberanian, dan solidaritas antar keluarga. Anak-anak tumbuh saling mengenal satu sama lain, sering berpindah-pindah kota mengikuti mutasi orang tua. “Anak kolong itu cepat dewasa, karena terbiasa hidup dalam tekanan disiplin dan berpindah tempat,” kata Asvi.

Namun pada periode 1970–1980-an, istilah “anak kolong” mengalami pergeseran makna di masyarakat. Sebutan itu mengandung konotasi ganda. Di satu sisi, ia diasosiasikan dengan kenakalan, keberanian, dan sikap keras; di sisi lain, dengan ketangguhan dan solidaritas sosial.

Dalam novel semi-otobiografi Anak Kolong karya Yan Lubis (Pustaka Sinar Harapan, 1995), digambarkan kehidupan anak-anak di kompleks militer yang penuh dinamika: perkelahian kecil, rasa hormat pada seragam ayah, dan solidaritas sesama anak tentara. Lubis dalam novelnya menulis, “Kami tumbuh di barak yang dindingnya tipis. Suara lars di pagi hari adalah jam weker kami. Di kolong ranjang ayah, kami belajar membedakan suara sepatu komandan dan suara hujan.”

BACA JUGA: Julukan Anak Kolong Lahir dari Sempitnya Barak Militer Tentara

Kutipan itu menjadi cerminan bagaimana “kolong” bukan lagi tempat tidur semata, melainkan ruang kehidupan dan kenangan masa kecil.


Konotasi Negatif

Dalam banyak kesempatan, istilah anak kolong sempat dipakai dengan nada mengejek oleh mereka yang tak mengenal latar sejarahnya. Di beberapa sekolah umum pada 1980-an, anak-anak dari keluarga militer sering dipanggil “anak kolong” karena gaya bicara yang keras atau kenakalan khas mereka.

Namun stigma itu pelan-pelan berubah menjadi kebanggaan. Banyak figur publik Indonesia yang secara terbuka mengaku sebagai anak kolong dan menjadikan pengalaman itu sebagai sumber karakter.

Dalam wawancara dengan Republika tahun 2016, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menceritakan masa kecilnya sebagai anak tentara. “Kami tinggal di rumah dinas kecil. Tidur di kolong ranjang itu hal biasa. Tapi dari situ kami belajar arti disiplin dan tanggung jawab.”

Ucapan Gatot itu memperkuat pandangan bahwa istilah “anak kolong” tak sekadar menyiratkan keterbatasan, melainkan juga pendidikan karakter sejak dini—di bawah kerasnya disiplin militer dan sempitnya ruang hidup.

BACA JUGA: Humor Gus Dur di Hari Bhayangkara: Hanya Ada Tiga Polisi Jujur

Kehidupan sosial di barak militer bagi anak kolong sebagai dunia kecil yang penuh aturan. Lingkungan barak militer memang punya sistem sosial sendiri karena saban sore bunyi terompet menandakan pergantian waktu dinas; anak-anak harus berhenti bermain, sementara ibu-ibu menyiapkan makan malam untuk suaminya. Dunia di dalam kompleks militer itu seperti miniatur negara: tertib, teratur, dan hierarkis.


Sosiolog militer dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Soedjito Wirjosuhardjo, dalam bukunya Sosiologi Militer Indonesia (UGM Press, 1992), menyebutkan kehidupan anak-anak prajurit menjadi “bagian tak terpisahkan dari kebudayaan militer itu sendiri.” Mereka tumbuh dalam tatanan sosial tertutup, yang membentuk mental kuat, cepat beradaptasi, dan disiplin.

Namun sisi lain dari kehidupan barak adalah keterasingan dari masyarakat sipil. “Anak kolong” sering kesulitan menyesuaikan diri ketika keluarga mereka dipindahkan ke lingkungan sipil biasa. Banyak yang merasa kehilangan rasa kebersamaan khas tangsi.

Pada medio 2000-an, julukan “anak kolong” mulai jarang terdengar secara literal. Pembangunan kompleks perumahan TNI yang lebih layak membuat generasi baru prajurit tidak lagi tinggal di barak bertingkat atau rumah kayu sempit. Namun, julukan itu tetap melekat bagi mereka yang lahir dan besar di era Presiden Soeharto atau sebelum reformasi meledak.

BACA JUGA: Kisah Belanda Depok, Budak yang Naik Derajat

Istilan anak kolong bukan lagi sekadar julukan, tetapi juga kebanggaan. Bahkan Komunitas alumni keluarga militer seperti Forum Komunikasi Putra-Putri TNI/Polri (FKPPI) masih menggunakan istilah ini dalam konteks kebanggaan dan menganggapnya sebagai identitas sosial yang menunjukkan asal-usul dan nilai kedisiplinan. Seperti dituliskan dalam buku Satu Dekade FKPPI (2008), istilah “anak kolong” menjadi simbol sejarah: lambang keteguhan generasi yang dibesarkan dalam kesederhanaan namun menjunjung kehormatan.

Julukan anak kolong memang lahir dari barak militer tua di Cimahi, Magelang, atau Malang. Di sana anak-anak prajurit bermain di halaman, berbagi ruang dengan ratusan anak prajurit yang hidup di ruang terbatas. Kolong ranjang menjadi tempat yang nyaman ketika hari dipeluk malam. Dari kolong ranjang anak-anak tentara tumbuh bersama bau minyak pelumas, suara komando, dan rasa hormat pada seragam ayahnya.

Tak heran julukan anak kolong bagi putra-putri prajurit menjadi simbol keteguhan, disiplin, dan kebersamaan yang dibentuk oleh keterbatasan. Seperti ditulis Yan Lubis di halaman terakhir novelnya: “Kami tak lagi tidur di kolong ranjang, tapi kami tahu—di sanalah dulu kami belajar tentang arti kehidupan.”

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.